Oleh : Muhammad Labib
Istilah
karep merupakan sebuah kata benda dalam bahasa Jawa yang berarti
keinginan, kehendak, hasrat yang juga memiliki hubungan yang saling berkelit-kelindan
dengan kata tujuan atau pencapaian. Misalnya seorang kelahiran kota Surakarta
berkata, “Karepe kabeh wong tuo, supoyo anake dadi wong kang bagus”
(keinginan setiap orang tua, yaitu supaya anaknya menjadi pribadi berperangai
baik). Berarti ada hubungan antara keinginan orang tua dengan tujuannya,
yaitu perilaku baik anak.
Sementara
itu, istilah karep ageng (kehendak besar) dan karep alit
(kehendak kecil) merujuk pada hubungan simultan antara Tuhan sebagai
Meta-kosmos, alam semesta sebagai makro kosmos, dan manusia sebagai mikro
kosmos. Dalam imajinasi Sachiko Murata yang terabadikan di bukunya The Tao
of Islam, hubungan ini membentuk semacam pola piramida dan sekaligus pola
semacam salib yang menjadi simbol pola hubungan vertikal (antara alam, manusia
kepada Tuhan) dan horizontal (antara sesama manusia dan alam semesta).
Dalam
sebuah hadis qudsi yang populer dikutip oleh para ahli tasawuf tentang
asal-usul semesta, Tuhan berfirman, “Aku adalah pembendaharaan yang
tersembunyi. Aku ingin supaya diri-Ku dikenal. Maka, Aku ciptakan makhluk, yang
dengannya Aku dapat dikenal.” Berangkat dari hadis ini, tidak sedikit ahli
tasawuf yang membangun sebuah konsep tentang tajalli ketuhanan. Yaitu,
sebuah konsep yang memetakan bahwa semesta raya dan khususnya manusia merupakan
wahana , bukti keberadaan, serta tanda-tanda untuk lebih mengenal Tuhan.
Istilah
karep ageng (kehendak agung) dalam pemahaman Sachiko Murata, yang
sebetulnya disarikan dari Futuhat Al-Makiyyah Ibnu ‘Arabi, apabila
dilihat dari sisi ukuran dan ruang lingkupnya, merujuk kepada sistem tata
kelola semesta yang merupakan pengejawentahan kehendak Tuhan yang konstan,
mantap, sistematis. Sementara, karep alit adalah kehendak manusia
sebagai bagian kecil dari keluarga semesta yang sesuai perangai mental-nya
sering berubah-ubah.
Namun,
sebaliknya apabila dilihat dari sisi fungsinya, atau dalam rangka manajemen
semesta, realitasnya secara kualitatif menjadi terbalik. Karep ageng
adalah milik manusia. Sedangkan, karep alit adalah milik semesta. Pemaknaan
ini, dipahami dari posisi manusia di hadapan alam semesta yang diberi mandat
oleh Tuhan dalam meta-narasi skenario semesta, sebagai khalifah
(pengelola) semesta, tanpa meninggalkan hakikat esensi awalnya sebagai hamba (‘abdullah)
yang senantiasa harus patuh dengan aturan-aturan ketuhanan.
Karep-Tujuan
: Psikologi Jawa dan Maqasid Shariah
Psikologi merupakan sebuah cabang ilmu yang
mempelajari manusia dari sisi mental, pikiran, dan perilaku-nya. Umumnya,
kajian-kajian yang terukur dan sistematis yang nantinya mengerucut pada terapi
penyakit mental dalam ilmu kedokteran, dominan mengambil perkembangan pemikiran
dari tokoh-tokoh Barat.
Namun, sebagai khazanah warisan kearifan lokal,
terdapat konsep psikologi yang dicetuskan oleh salah satu putra terbaik tanah
air kelahiran Yogyakarta, yang dikenal dengan konsep Kawruh Jiwa gagasan
Ki Ageng Suryamentaram. Konsep ini merupakan seperangkat dokumentasi perjalanan
hidup yang ditulis secara sistematis oleh Raden Mas Kudiarmadji (nama aslinya),
putra Sultan Hamengku Buwono VII ke-55, yang memilih untuk hidup sederhana
sebagai rakyat jelata berdampingan dengan rakyat kecil.
Secara ringkas, konsep ini berisi ajaran agar
seseorang meneliti secara mendalam segala akhwal gerak-gerik, perubahan,
serta penyebab dan akibat yang menjadikan dirinya memiliki perasaan bahagia,
susah, marah, kecewa, positif, negatif, dalam menghadapi situasi dan kondisi di
hidupnya.
Fitur ini, disebut Ki Ageng dengan istilah nyawang
karep. Lewat pengamatan yang sistematis dan mendalam terhadap
perubahan-perubahan karep yang mulur-mungkret, seseorang akan
dapat membedakan mana yang dirinya dan mana yang bukan dirinya. Singkat cerita,
puncak pengamatan itu akan membentuk pribadi manungso tanpo tenger
(manusia tanpa ciri), dan mewariskan kondisi begja sesarengan (bahagia
bersama) dalam kehidupan sosial.
Sementara itu, istilah maqasid shariah
merupakan bagian dari sub kajian dalam disiplin ilmu ushul fiqh yang digeluti
oleh para santri dan peminat kajian hukum Islam. Sesuai dengan branding
namanya, istilah itu merupakan bahasa Arab yang sedikit banyak mewariskan cara
berpikir dan budaya bangsa Arab dalam menjalani kehidupan.
Istilah tersebut sering didefinisikan oleh para
pakar sebagai tujuan, hikmah, dan rahasia-rahasia yang tersimpan di balik
semua, atau sebagian besar hukum syariat Islam yang digariskan oleh Allah dan
Rasul-Nya.
Imam Ghazali merumuskan ad-daruriyyat al-khams
yang menyatakan bahwa di antara tujuan primer Tuhan dan Rasul-Nya dalam
kehidupan, adalah menolak kemadaratan dan menciptakan kemaslahatan di dunia dan
akhirat, yang diukur berdasarkan penjagaan terhadap jiwa, agama, akal,
keturunan, dan harta. As-Subuki menambahkan pejagaan harga diri. AM.Najjar dan
Yusuf Qardawi menambahkan penjagaan ekosistem. Semuanya, ada yang berada dalam
kategori primer (daruri), sekunder (hajiyat) dan tersier (tahsiniyat).
Dalam
perkembangan dan praktiknya, maqasid shariah dan fiqh secara
umum, selalu dihadirkan sebagai pemberian label (fatwa) boleh atau tidak, benar
atau salah terhadap kasus sosial yang sedang terjadi, lewat analisis Ayat
Quran, Hadis, Ijam’, Qiyas dan pendapat ulama’. Selain dalam hal ritual ibadah
solat, puasa, haji, seolah-olah fiqh lebih banyak hadir untuk mengurusi urusan
orang lain, dan jauh dari pedoman hidup untuk diri sendiri. Padahal, untuk
menuju kehidupan sosial yang baik, idealnya dimulai dari individu yang baik.
Harmoni Semesta
Kehidupan yang harmonis merupakan cita-cita agung
setiap orang. Bahkan, semesta sebagai makhluk yang tidak bisa berekspresi secara
leluasa seperti manusia, turut mendambakannya. Sebagai contoh, misal adanya
fitrah hubungan saling mempengaruhi antara hutan, air dan manusia. Sebagai
khalifah, manusia berhak menebang pohon dan mengelola air sesuai dengan
kebutuhannya. Namun, apabila dilakukan secara eksploitatif, hutan dan air
sering kali mengekspresikan kekecewaan mereka dalam wujud bencana banjir dan
tanah longsor.
Oleh karena itu, manusia sebagai khalifah dan
sekaligus hamba Tuhan harus memahami posisi dan tugasnya secara proporsional.
Hal ini, dalam konsep psikologi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryamentaram terkandung
dalam ajaran nyawang karep. Pada intinya, ajaran ini mewejang supaya
manusia memahami dirinya secara mendalam, sehingga mampu mengemban tugasnya
dalam kehidupan secara tepat.
Setelah manusia mampu memahami dirinya, pada saat
itu pula lambat laun ia akan mulai memahami posisinya di hadapan alam semesta
dengan berbagai unsur dan kompleksitasnya, serta posisinya di hadapan Tuhan
sebagai Sang Pencipta dan Sang Pengatur.
Selanjutnya, dalam rangka menunaikan tugasnya
untuk mewujudkan kerja-kerja mengharmonikan semesta baik itu dalam lingkup
kecil, maupun besar, ia harus menyelaraskan antara karep (kehendak)
dalam dirinya, serta kehendak Tuhan yang terejawentahkan, atau terindikasi
dalam berbagai kompleksitas alam semesta.
Barangkali untuk mempraktikkannya memang butuh
usaha yang tidak ringan, khususnya dalam menerka-nerka kehendak dan tujuan
Tuhan. Perlu disinergikan antara pemahaman terhadap diri lewat laku-laku
kebatinan, pemahaman semesta lewat riset-riset ilmiah, dan pemahaman ketuhanan
lewat pembacaan dan analisis buku putih serta teks-teks keislaman (kitab
kuning).
Namun, usaha untuk menyulam karep dan
tujuan tersebut, tidak seberapa dibandingkan dengan kerusakan yang dapat timbul
apabila aktivitas kehidupan dijalani secara serampangan, sebagai imbas dari
realisasi karep diri yang ingin menang sendiri, tanpa ada pengamatan dan
refleksi yang mendalam, terhadap kepentingan orang lain dan semesta. Semoga
kita semua terhindar dari sikap yang demikian.