Menyulam Karep Ageng dan Karep Alit Menuju Harmoni Semesta

Minggu, 10 Oktober 2021

  

Raden Ngabehi Ronggowarsito. (Foto: Harian7)


 Oleh : Muhammad Labib

 

Istilah karep merupakan sebuah kata benda dalam bahasa Jawa yang berarti keinginan, kehendak, hasrat yang juga memiliki hubungan yang saling berkelit-kelindan dengan kata tujuan atau pencapaian. Misalnya seorang kelahiran kota Surakarta berkata, “Karepe kabeh wong tuo, supoyo anake dadi wong kang bagus” (keinginan setiap orang tua, yaitu supaya anaknya menjadi pribadi berperangai baik). Berarti ada hubungan antara keinginan orang tua dengan tujuannya, yaitu perilaku baik anak.

Sementara itu, istilah karep ageng (kehendak besar) dan karep alit (kehendak kecil) merujuk pada hubungan simultan antara Tuhan sebagai Meta-kosmos, alam semesta sebagai makro kosmos, dan manusia sebagai mikro kosmos. Dalam imajinasi Sachiko Murata yang terabadikan di bukunya The Tao of Islam, hubungan ini membentuk semacam pola piramida dan sekaligus pola semacam salib yang menjadi simbol pola hubungan vertikal (antara alam, manusia kepada Tuhan) dan horizontal (antara sesama manusia dan alam semesta).

Dalam sebuah hadis qudsi yang populer dikutip oleh para ahli tasawuf tentang asal-usul semesta, Tuhan berfirman, “Aku adalah pembendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin supaya diri-Ku dikenal. Maka, Aku ciptakan makhluk, yang dengannya Aku dapat dikenal.” Berangkat dari hadis ini, tidak sedikit ahli tasawuf yang membangun sebuah konsep tentang tajalli ketuhanan. Yaitu, sebuah konsep yang memetakan bahwa semesta raya dan khususnya manusia merupakan wahana , bukti keberadaan, serta tanda-tanda untuk lebih mengenal Tuhan.

Istilah karep ageng (kehendak agung) dalam pemahaman Sachiko Murata, yang sebetulnya disarikan dari Futuhat Al-Makiyyah Ibnu ‘Arabi, apabila dilihat dari sisi ukuran dan ruang lingkupnya, merujuk kepada sistem tata kelola semesta yang merupakan pengejawentahan kehendak Tuhan yang konstan, mantap, sistematis. Sementara, karep alit adalah kehendak manusia sebagai bagian kecil dari keluarga semesta yang sesuai perangai mental-nya sering berubah-ubah.

Namun, sebaliknya apabila dilihat dari sisi fungsinya, atau dalam rangka manajemen semesta, realitasnya secara kualitatif menjadi terbalik. Karep ageng adalah milik manusia. Sedangkan, karep alit adalah milik semesta. Pemaknaan ini, dipahami dari posisi manusia di hadapan alam semesta yang diberi mandat oleh Tuhan dalam meta-narasi skenario semesta, sebagai khalifah (pengelola) semesta, tanpa meninggalkan hakikat esensi awalnya sebagai hamba (‘abdullah) yang senantiasa harus patuh dengan aturan-aturan ketuhanan.

 

Karep-Tujuan : Psikologi Jawa dan Maqasid Shariah

Psikologi merupakan sebuah cabang ilmu yang mempelajari manusia dari sisi mental, pikiran, dan perilaku-nya. Umumnya, kajian-kajian yang terukur dan sistematis yang nantinya mengerucut pada terapi penyakit mental dalam ilmu kedokteran, dominan mengambil perkembangan pemikiran dari tokoh-tokoh Barat.

Namun, sebagai khazanah warisan kearifan lokal, terdapat konsep psikologi yang dicetuskan oleh salah satu putra terbaik tanah air kelahiran Yogyakarta, yang dikenal dengan konsep Kawruh Jiwa gagasan Ki Ageng Suryamentaram. Konsep ini merupakan seperangkat dokumentasi perjalanan hidup yang ditulis secara sistematis oleh Raden Mas Kudiarmadji (nama aslinya), putra Sultan Hamengku Buwono VII ke-55, yang memilih untuk hidup sederhana sebagai rakyat jelata berdampingan dengan rakyat kecil.

Secara ringkas, konsep ini berisi ajaran agar seseorang meneliti secara mendalam segala akhwal gerak-gerik, perubahan, serta penyebab dan akibat yang menjadikan dirinya memiliki perasaan bahagia, susah, marah, kecewa, positif, negatif, dalam menghadapi situasi dan kondisi di hidupnya.

Fitur ini, disebut Ki Ageng dengan istilah nyawang karep. Lewat pengamatan yang sistematis dan mendalam terhadap perubahan-perubahan karep yang mulur-mungkret, seseorang akan dapat membedakan mana yang dirinya dan mana yang bukan dirinya. Singkat cerita, puncak pengamatan itu akan membentuk pribadi manungso tanpo tenger (manusia tanpa ciri), dan mewariskan kondisi begja sesarengan (bahagia bersama) dalam kehidupan sosial.

Sementara itu, istilah maqasid shariah merupakan bagian dari sub kajian dalam disiplin ilmu ushul fiqh yang digeluti oleh para santri dan peminat kajian hukum Islam. Sesuai dengan branding namanya, istilah itu merupakan bahasa Arab yang sedikit banyak mewariskan cara berpikir dan budaya bangsa Arab dalam menjalani kehidupan.

Istilah tersebut sering didefinisikan oleh para pakar sebagai tujuan, hikmah, dan rahasia-rahasia yang tersimpan di balik semua, atau sebagian besar hukum syariat Islam yang digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Imam Ghazali merumuskan ad-daruriyyat al-khams yang menyatakan bahwa di antara tujuan primer Tuhan dan Rasul-Nya dalam kehidupan, adalah menolak kemadaratan dan menciptakan kemaslahatan di dunia dan akhirat, yang diukur berdasarkan penjagaan terhadap jiwa, agama, akal, keturunan, dan harta. As-Subuki menambahkan pejagaan harga diri. AM.Najjar dan Yusuf Qardawi menambahkan penjagaan ekosistem. Semuanya, ada yang berada dalam kategori primer (daruri), sekunder (hajiyat) dan tersier (tahsiniyat).

Dalam  perkembangan dan praktiknya, maqasid shariah dan fiqh secara umum, selalu dihadirkan sebagai pemberian label (fatwa) boleh atau tidak, benar atau salah terhadap kasus sosial yang sedang terjadi, lewat analisis Ayat Quran, Hadis, Ijam’, Qiyas dan pendapat ulama’. Selain dalam hal ritual ibadah solat, puasa, haji, seolah-olah fiqh lebih banyak hadir untuk mengurusi urusan orang lain, dan jauh dari pedoman hidup untuk diri sendiri. Padahal, untuk menuju kehidupan sosial yang baik, idealnya dimulai dari individu yang baik.

 

Harmoni Semesta

 

Kehidupan yang harmonis merupakan cita-cita agung setiap orang. Bahkan, semesta sebagai makhluk yang tidak bisa berekspresi secara leluasa seperti manusia, turut mendambakannya. Sebagai contoh, misal adanya fitrah hubungan saling mempengaruhi antara hutan, air dan manusia. Sebagai khalifah, manusia berhak menebang pohon dan mengelola air sesuai dengan kebutuhannya. Namun, apabila dilakukan secara eksploitatif, hutan dan air sering kali mengekspresikan kekecewaan mereka dalam wujud bencana banjir dan tanah longsor.

Oleh karena itu, manusia sebagai khalifah dan sekaligus hamba Tuhan harus memahami posisi dan tugasnya secara proporsional. Hal ini, dalam konsep psikologi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryamentaram terkandung dalam ajaran nyawang karep. Pada intinya, ajaran ini mewejang supaya manusia memahami dirinya secara mendalam, sehingga mampu mengemban tugasnya dalam kehidupan secara tepat.

Setelah manusia mampu memahami dirinya, pada saat itu pula lambat laun ia akan mulai memahami posisinya di hadapan alam semesta dengan berbagai unsur dan kompleksitasnya, serta posisinya di hadapan Tuhan sebagai Sang Pencipta dan Sang Pengatur.

Selanjutnya, dalam rangka menunaikan tugasnya untuk mewujudkan kerja-kerja mengharmonikan semesta baik itu dalam lingkup kecil, maupun besar, ia harus menyelaraskan antara karep (kehendak) dalam dirinya, serta kehendak Tuhan yang terejawentahkan, atau terindikasi dalam berbagai kompleksitas alam semesta.

Barangkali untuk mempraktikkannya memang butuh usaha yang tidak ringan, khususnya dalam menerka-nerka kehendak dan tujuan Tuhan. Perlu disinergikan antara pemahaman terhadap diri lewat laku-laku kebatinan, pemahaman semesta lewat riset-riset ilmiah, dan pemahaman ketuhanan lewat pembacaan dan analisis buku putih serta teks-teks keislaman (kitab kuning).

Namun, usaha untuk menyulam karep dan tujuan tersebut, tidak seberapa dibandingkan dengan kerusakan yang dapat timbul apabila aktivitas kehidupan dijalani secara serampangan, sebagai imbas dari realisasi karep diri yang ingin menang sendiri, tanpa ada pengamatan dan refleksi yang mendalam, terhadap kepentingan orang lain dan semesta. Semoga kita semua terhindar dari sikap yang demikian.   

0 Viewers