Kanjengan, Sebuah Kelahiran Kembali

Senin, 22 Maret 2021

 

    Bulan Syuro tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Khususnya bagi masyarakat Kajen, Margoyoso, Kabupaten Pati. Biasanya, setiap Syuro diperingati haul waliyullah KH. Ahmad Mutamakkin. Seorang pangeran dari Pajang yang lebih memilih ‘Kraton Akhirat” daripada “Kraton Dunia”. Mbah Mutamakkin menolak meneruskan takhta kerajaan, memilih berdakwah di tengah masyarakat. Hingga menghabiskan akhir hidupnya di Desa Kajen.

Ada berbagai rangkaian acara untuk memperingati perjuangan Sang Wali. Seperti tahlilan, buka selambu, hingga karnaval keliling kampung yang melibatkan khalayak ramai. Namun kerana masih dalam suasana pandemi, peringatan haul digelar secara terbatas, dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.

Pada bulan Syuro pula, biasanya Perpustakaan Mutamakkin menggelar berbagai acara. Misalnya pameran buku, diskusi, maupun pengajian. Tujuannya tak lain adalah ikut memperingati perjuangan Al-Mutamakkin. Tahun ini, terpaksa Perpustakaan Mutamakkin tidak menggelar apa-apa. Tetapi, organisasi yang dibidani para muda-mudi Kajen itu, tak kehabisan akal.

Kendati dalam suasana pandemi, semangat untuk nguri-uri kampung halaman tak surut. Pada 2 September 2020 lalu, mereka kembali berkumpul merumuskan peta jalan sebuah gerakan kebudayaan. Tentunya dengan mematuhi protokol kesehatan.

Para muda-mudi Kajen itu mewedhar uneg-uneg. Kebanyakan berupa spirit dan harapan untuk merawat kampung halaman melaui persembahan karya. Disadari dalam dua tahun belakangan, Perpustakaan Mutamakkin tidak menggelar kegiatan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Hanya sekali dua kali menggelar pengajian dan diskusi. 

Sebetulnya, para pegiat Perpustakaan Mutamakkin tak vakum vakum amat. Beberapa anggota, sebagaimana biasanya, tetap berburu hikayat Sang Wali. Meliputi manuskrip kuno, artefak, maupun cerita-cerita lokal yang masih bisa digali dari para sepuh. 

Rutinitas tersebut tetap dilakoni. Mengalir begitu saja. Tanpa menghiraukan keterbatasan. Justru keterbatasan itu menjadi pelecut mereka untuk tetap berkarya.

Misalnya, saat membutuhkan kamera untuk mendokumentasi manuskrip yang telah ditemukan, seorang anggota dengan senang hati meminjamkan kameranya. Begitu juga saat hendak kumpul membahas hasil temuan di lapangan. Seorang anggota dengan senang hati mempersilakan ‘njagong’ di kediamannya. Kira-kira begitulah cara kerja para muda-mudi itu. Mereka berjalan dengan semangat yang sama: nguri-uri kampung halaman.

Pada prinsipnya, semangat untuk nguri-uri kampung halaman tetap menyeruak. Bagi mereka, Perpustakaan Mutamakkin adalah wadah rintisan yang dibentuk pada 2016 untuk berbagi karya. Beragamnya kegiatan yang telah sukses digelar, akhirnya mendorong mereka untuk menciptakan sebuah wadah baru di bawah naungan Perpustakaan Mutamakkin.

Wadah baru ini lebih spesifik digunakan sebagai arena berkarya di ranah intelektual dan kebudayaan. Khususnya menggali khasanah sejarah, keilmuan, maupun ajaran-ajaran luhur Mbah Mutamakkin. Begitu juga tentang para sesepuh Desa Kajen dan sekitarnya. Sebagai Kota Santri, tentunya Kajen menyimpan banyak hal yang perlu digali dan dilestarikan.

Adalah “Kanjengan”. Kaneman Kajen Jonggringan. Seperti namanya, wadah ini merupakan kumpulan dari para muda-mudi Kajen. Sementara ‘jonggringan’ diambil dari kata Jonggring Seloka. Tempat bersemayamnya para dewa. Tempat penyucian, penggodokan dan pangleburan, kawah candradimuka. Dengan demikian, wadah baru ini adalah semacam ruang pertemuan untuk melebur jarak, antara yang lampau dan yang kini, untuk menggurat yang menjelang.

Beberapa kegiatan awal yang telah direncanakan antara lain melanjutkan penelusuran manuskrip maupun artefak Kajen, diskusi bulanan, serta menerbitkan majalah bulanan. Majalah yang hadir di hadapan sidang pembaca ini, bakal rutin menyajikan temuan-temuan para muda-mudi Kajen ikhwal hikayat dan ajaran Mbah Mutamakkin. Selain itu juga disajikan informasi aktual seputar Kajen, karya-karya para santri, juga isu-isu aktual seputar kebangsaan dalam kacamata Kajen.

Kaneman Kajen Membaca Ulang Sejarah Mbah Mutamakkin

Kajian tentang Mbah Mutamakkin kiranya belum terlalu banyak. Sarjana yang paling awal menelitinya yaitu S. Soebardi. Ia menulis disertasi tentang Serat Cabolek untuk keperluan studi doktoral di Australian University.

Namun demikian, Serat Cabolek rupanya tidak menarasikan tentang Mbah Mutamakkin secara lengkap.  Mencakup riwayat, perjuangan, atau pun perihal ajaran-ajaran Al-Mutamakkin. Serat Cabolek lebih fokus menarasikan pengadilan Kraton Surakarta, presentasi Ketib Anom yang angkuh tentang ilmu hakikat, serta beberapa bait tentang pengakuan Pakubuwono II atas kewalian Al-Mutamakkin.

Membaca ulang Serat Cabolek, nyaris tidak ditemukan ajaran Mbah Mutamakkin. Kecuali kode-kode kebahasan tertentu yang menunjukkan tata susila Simbah yang tawadu’, egaliter, santun, serta pribadi yang tekun. 

Pasalnya, setelah dicermati, Serat Cabolek merupakan produk kebudayaan pujangga istana Kertasura, yang kemudian hari disalin oleh Yasadipura II pada zaman pemerintahan Pakubuwono IV. Legitimasi kerajaan yang dibangun oleh Sang Pujangga dimaksudkan sebagai perlawanan simbolik Kraton terhadap hegemoni kolonial Belanda yang semakin represif. Terutama pada munculnya wacana-wacana Islam yang disinyalir mengancam kekuasaan mereka.

Artinya, jangan berharap banyak pada Serat Cabolek, khususnya terkait ajaran-ajaran dari Al-Mutamakkin. Kita musti mencari sumber-sumber lain yang relevan. Bisa berupa manuskrip yang diwarisi secara turun-temurun oleh warga Kajen (desa tempat Mbah Mutamakkin dimakamkan), cerita tutur tentang Mbah Mutamakkin, maupun masjid yang diyakini sebagai peninggalan Mbah Mutamakkin.

Kurang lebih selama 4 tahun belakangan, para muda-mudi Kajen yang tergabung dalam Perpustakaan Mutamakkin telah blusukan ke sudut-sudut desa. Mereka mengumpulkan beragam cerita tutur dari warga Desa Kajen tentang Mbah Mutamakkin. Beberapa daerah sekitar juga mereka kunjungi untuk mencari data. Seperti Desa Sekarjalak, Cabolek, Ngemplak, dan sebagainya.

Tak hanya cerita tutur, beberapa manuskrip juga telah ditemukan. Total ada 4 manuskrip yang telah didigitalisasi. Semuanya berkaitan dengan riwayat Mbah Mutamakkin. Data-data yang telah terkumpul tersebut sedang dan akan diteliti lebih lanjut.

E-Bulletin edisi perdana ini antara lain menyajikan hasil pembacaan ulang atas manuskrip Serat Cabolek. Ikhtiar awal ini bermaksud memberikan perspektif baru atas narasi yang telah berkembang di masyarakat tentang Serat Cabolek dan Mbah Mutamakkin. 

Persoalan lain yang diangkat yakni ikhwal nama gelar Al-Mutamakkin untuk menyebut sosok Haji Ahmad atau Sumohadiwijoyo yang merupakan nama lahir Mbah Mutamakkin. Gelar Al-Mutamakkin, sebagaimana berbagai sumber menyebut, diperoleh setelah Mbah Mutamakkin nyantri di timur tengah, termasuk kepada Syekh Zain di Yaman. Pengungkapan makna nama gelar ini penting untuk memahami riwayat keilmuan Mbah Mutamakkin.

Selanjutnya, ada pula liputan tentang proses pembuatan film pendek tentang petilasan Mbah Mutamakkin di Desa Kajen. Selain sebagai medium ekspresi para muda-mudi Kajen, film ini bertujuan memperkenalkan khasanah “pusaka Kajen” kepada khalayak umum.

Beberapa sajian dalam edisi perdana ini diharapkan mampu menjadi kaca benggala para pembaca. Khususnya masyarakat Kajen. E-Bulletin Kanjengan menawarkan perspektif para muda-mudi Kajen atas sejarah kampung halaman mereka. Khususnya riwayat dan samudera keilmuan Mbah Mutamakkin. 

Kaca benggala, dengan demikian bukan dipahami sebagai sebuah daftar praktis perbuatan-perbuatan yang harus diamalkan. Tetapi, ia lebih merupakan sebuah abstraksi dari pergumulan teks dan konteks masa lalu yang dihadirkan pada masa kini. Tujuannya tak lain untuk aktualisasi diri, serta sebagai sumber inspirasi batin dalam mengarungi bahtera kehidupan.[]


0 Viewers