Sang Panggawening Suksma : Pakubuwono II Mengakui Kewalian Mbah Mutamakkin (Bag. 1)

Senin, 22 Maret 2021


 Sang Panggawening Suksma:

Pakubuwono II Mengakui Kewalian Mbah Mutamakkin (Bag. 1)

Oleh: Taufiq Hakim 


Cerita tentang Mbah Mutamakkin

Alkisah. Ada peristiwa yang menggemparkan dalam sejarah Jawa. Pada awal abad ke-18, Kraton Kertasura dibuat sibuk oleh seorang ulama kampung. Haji Ahmad Mutamakkin namanya. Serat Cabolek, salah satu manuskrip produksi Kraton yang mengabadikan peristiwa tersebut, juga menyebut sang ulama sebagai Kiai Cabolek.

Dikatakan menggemparkan, sebab Mutamakkin dianggap telah mengingkari syariat. Mutamakkin, yang notabene adalah seorang pengajar agama, rutin mempergelarkan wayang Dewa Ruci, mengajarkan ilmu hak kepada khalayak umum, serta memelihara dua anjing. Kedua anjingnya dinamai Abdul Qohar dan Qomaruddin. Serupa dengan nama pejabat di daerah Tuban.

Hal inilah, menurut Serat Cabolek, yang membuat geram para ulama di daerah Pantura ikhwal kelakuan Mutamakkin. Berita ikhwal Mutamakkin yang dikesankan buruk perlakuannya pun menyebar dengan cepat. Alhasil Mutamakkin dikenal sebagai ulama yang mengingkari syariat, bahkan bermaksud melawan kerajaan dengan praktik keagamaannya. Kertasura pun gempar, khususnya di wilayah Pantura. Para ulama juga menuntut kepada Krton untuk mengadili Mutamakkin.

Selanjutnya, Mutamakkin dipanggil Kraton. Begitu pula para ulama di seantereo wilayah Kertasura. Atas nama kewibawaan Raja, sang pemimpin agama, akan digelar persidangan untuk mengadili Mutamakkin. Awalnya, raja yang bertakhta kala itu adalah Amangkurat IV. Namun sebelum persidangan berjalan, Sang Raja wafat. Akhirnya persidangan digelar kembali oleh penerusnya, yakni Pakubuwono II (bertakhta 1726-1742 M).

Serat Cabolek mengisahkan suasana persidangan berjalan cukup sengit. Mutamakkin dihadapkan pada Ketib Anom Kudus yang digambarkan menguasai hukum Islam dan kebudayaan Jawa. Para peserta sidang pun mengagumi Ketib Anom. Sementara, Mutamakkin digambarkan sebagai sosok yang kurang berpendidikan, banyak diam dan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan Ketib Anom.

Namun begitu, Pakubuwono II tidak menghadiri persidangan. Ia mengutus Demang Urawan mewakilinya. Ketika persidangan ditangguhkan, Demang Urawan sowan kepada Sang Raja. Demang Urawan menceritakan jalannya persidangan. Pakubuwono II pun menanyakan perkembangan persidangan, khususnya tentang sosok Mutamakkin.

Mendengar penjelasan Demang Urawan, Pakubuwono II justru mengeluarkan keputusan yang mengejutkan. Mutamakkin diampuni. Keputusan Pakubuwono II bukan tanpa alasan. Setelah menyimak cerita yang disampaikan Demang Urawan, yakni sikap Mutamakkin yang membaca cerita Dewa Ruci selama perjalanan dari Cabolek ke Kertasura, hingga sikapnya yang memilih irit bicara saat disidang, diyakini Pakubuwono II sebagai tindakan yang tepat. Pakubuwono II  lantas menyimpulkan bahwa ajaran hak yang diyakini Mutamakkin adalah untuk dirinya sendiri.

Keputusan ini selanjutnya membuat para peserta sidang terkejut. Ketib Anom bahkan beradu argumen dengan Demang Urawan. Ketib Anom lantas dianggap biang kerok dari kegaduhan yang terjadi. Yakni membuat kegelisahan para ulama, juga Kraton dengan laporan yang dinilai belum jelas juntrungnya. Kendati begitu, Ketib Anom tetap menunjukkan tekadnya sebagai abdi yang menjunjung tinggi kewibawaan dan harga diri Raja sebagai pemimpin agama. Atas dasar itulah Ketib Anom bersikeras agar Mutamakkin harus dihukum.

(Bersambung ke bag. 2)

[1] Warga Desa Kajen. Pegiat Kaneman Kajen Jonggringan (Kanjengan)

.

Cerita Mutamakkin dalam Puisi Jawa

Karya sastra Jawa yang mengisahkan tentang Kiai Mutamakkin antara lain Serat Cabolek. Sarjana asal Indonesia yang mengawali studi tentang manuskrip yang dikenal sebagai karya Yasadipura I itu adalah S. Soebardi. Ia menulis disertasi yang berjudul The Book of Cabolek : A Critical Edition with Introduction, Translation and Notes, a Contribution to The Study of The Javanese Mystical Tradition untuk memperoleh gelar doktor dari Departement of Indonesia Language and Literatures pada The Australian National University (ANU) pada 1967. 

Delapan tahun berselang, disertasi tersebut diterbitkan oleh Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) Seri No. 10 Bibliotheca Indonesia dalam bahasa Inggris dengan judul The Book of Cabolek pada 1975. Selanjutnya, edisi berbahasa Indonesia berjudul Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan (Pengadilan K.H. A. Mutamakkin & Fenomena Shaikh Siti Jenar) diterbitkan oleh Penerbit Nuansa pada 2004. Meskipun dua judul yang terakhir adalah terbitan lebih kemudian dari edisi disertasi, perubahan yang ada pada masing-masing edisi tidak mempengaruhi kandungan isinya.

Dalam pengantar disertasinya, Soebardi menyebutkan bahwa Serat Cabolek merupakan dokumen yang melukiskan ketegangan-ketegangan yang dialami orang Jawa setelah adanya kontak dengan agama Islam. Konflik tersebut terjadi akibat orang-orang Jawa masih memegang ajaran mistik Jawa dan menolak secara legalistik ajaran agama Islam. Seperti yang digambarkan dalam Serat Cabolek, ketegangan tersebut antara lain kisah tentang Syekh Siti Jenar di era Demak, Ki Bebeluk di era Pajang, Sunan Panggung, serta Syekh Amongraga.

M.C. Ricklef melihat Serat Cabolek sebagai peristiwa aktual yang terjadi di Kraton Surakarta pada 1731. Akan tetapi, dia meragukan Yasadipura I sebagai penulisnya. Menurut Ricklefs, tidak mungkin Yasadipura I menulisnya pada 1731. Pada tahun tersebut, Yasadipura I masih balita. Persisnya berusia 2 tahun. Selain itu, Serat Cabolek yang digunakan Soebardi sebagai bahan (edisi standar) dalam disertasinya terbit pada tahun 1885 dalam edisi cetak.  Manuskrip tersebut ditulis dengan aksara dan berbahasa Jawa, dengan metrum macapat (puisi Jawa), dan terdiri dari 11 pupuh.

Menurut Ricklefs, Serat Cabolek ditulis beberapa tahun setelah peristiwa tersebut terjadi. Bisa jadi setelah gonjang-ganjing yang terjadi di dalam Kraton akibat Geger Pacinan pada 1740. Namun Yasadipura I bukan sebagai penulis, melainkan hanya menyusunnya berdasarkan catatan maupun ceritera yang masih tersimpan dalam ingatan orang-orang di lingkungan istana.  

Hal tersebut juga diyakini oleh Zainul Milal Bizawie. Milal juga berpendapat, sebagai sosok yang menyusun cerita, Yasadipura I turut berperan dalam proses seleksi dan reduksi sebuah peristiwa. Ia pun menduga Ratu Pakubuwono II, nenek Sang Raja yang bertakhta sebagai pemrakarsa Serat Cabolek. Tujuannya tak lain adalah untuk mengokohkan legitimasi Raja yang bertakhta sebagai pemimpin agama (panatagama). 

Di samping itu, Ricklefs menyebutkan ada seorang tokoh yang cukup berpengaruh pada abad ke-18. Ia adalah Carik Bajra (Tirtawiguna). Carik Bajra dianggap sebagai sosok yang unggul dalam sastra dan politik. Ia bahkan diangkat menjadi patih istana dengan nama Sindureja pada 1743, hingga wafat pada 1751. 

Dalam hal ini, Edwin Wieringa juga sependapat dengan Ricklefs terkait pendapatnya tentang sosok Carik Bajra. Tetapi, Selain itu, filolog berkebangsaan Jerman itu masih ragu lantaran belum menemukan teks-teks maupun manuskrip lain yang membahas tentang Kiai Cabolek atau Mbah Mutamakkin. Termasuk dalam arsip-arsip kolonial Belanda maupun Inggris. 

Dari pandangan tersebut, kita perlu kembali menelaah bahan Soebardi dalam disertasinya. Ada 12 manuskrip yang ditelaah Soebardi dalam rangka mencari keutuhan cerita. Sebanyak 7 manuskrip ia peroleh dari Perpustakaan Museum Jakarta dari Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Selain itu, Soebardi menggunakan salinan manuskrip yang ia peroleh dari Seksi Manuskrip Ketimuran Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Semua manuskrip tersebut ditulis menggunakan aksara Jawa. Ada juga sebuah buku cetak beraksara Jawa yang diterbitkan oleh Van Dorp&Co pada 1886. 

Dalam penelusurannya, Soebardi mendapatkan satu edisi dari penerbit yang sama, yakni Van Dorp, namun diterbitkan pada 1885. Terbitan tersebut tersimpan di Perpustakaan Museum Jakarta. Bedanya, manggala (bagian pengantar) pada terbitan tahun 1886 dihilangkan. Namun pada terbitan tahun 1885 masih dicantumkan. Manggala tersebut berbunyi:

Punika Serat anggitanipun abdi dalem bujangga Kraton ing Nagari Surakarta Adiningrat, nalika Panjenengan Dalem ingkang Sinuhun Pakubuwana kaping sekawan.

Manggala tersebut menunjukkan bahwa Serat Cabolek yang kemudian digunakan Soebardi. Bahan atau edisi standar yang digunakan Sobardi dalam penelitian disertasinya merupakan manuskrip yang ditulis oleh pujangga Kraton masa pemerintahan Pakubuwono IV. Adapun 12 manuskrip yang ditelaah Soebardi memiliki kesamaan cerita, meskipun kemudian disalin oleh pujangga lain di kemudian hari dengan bentuk dan struktur yang berbeda. 

Keragaman penyalinan dalam manuskrip-manuskrip tersebut bersumber pada satu manuskrip yang diyakini Soebardi sebagai edisi paling tua. Manuskrip tersebut memiliki nomor kode MS. Dr. 7221, yang merupakan salinan dalam huruf latin oleh J. Sugiarto dari MS. Dr. 6373, Hazeu Collection No. 2. Sayangnya, Soebardi tidak menyertakan analisis kodikologis, atau telaah fisik manuskrip, dari perbandingan teks yang ia lakukan.

Dilihat dari cara kerja penelitian Soebardi, ia mengedepankan rekonstruksi teks yang dianggap utuh dari 12 manuskrip. Hal ini juga disesalkan oleh Brandon, khususnya dalam rekonstruksi cerita Dewa Ruci.   Pasalnya, Soebardi memutuskan untuk menghilangkan bagian awal dari kisah Dewa Ruci yang terdapat dalam beberapa naskah yang dianggap tidak relevan.

Cara kerja filologi tradisional ini, yang mementingkan rekonstruksi cerita yang dianggap utuh, atau pun sebagai teks yang otoritatif rupanya berakibat pada hilangnya petunjuk-petunjuk lain yang semestinya dapat mendukung analisis. Petunjuk tersebut biasanya berupa bagian awal cerita yang dianggap tidak relevan oleh Soebardi. Pasalnya, bagian tersebut—yang tidak ditampilkan dalam disertasinya—lazimnya menunjukkan informasi lain. Misalnya seputar penyalinan manuskrip, latar belakang peristiwa, atau pun hal-hal yang berkaitan dengan kepengarangan sang pujangga. 

Gagasan tentang otoritas tekstual, dengan demikian justru bertentangan dengan kultur produksi sastra Jawa yang ada. Sebuah proses penyalinan secara turun temurun, dengan penambahan dan pengurangan, merupakan hal yang biasa terjadi dalam khasanah produksi manuskrip, khususnya di lingkungan Kraton. 

Begitu juga dengan aspek kodikologis atau seputar bentuk fisik manuskrip. Aspek ini tidak dipertimbangkan Soebardi dalam penelitiannya. Padahal, jenis kertas, cap kertas, sampul, model penjilidan manuskrip, serta bentuk aksara sungguh menunjang dalam penelitian filologi. Akibatnya, Soebardi belum berhasil menunjukkan angka tahun yang pasti terhadap manuskrip yang menyimpan teks tertua dan dekat dengan manuskrip yang ia pilih sebagai edisi standar untuk penelitiannya.

Kembali ke analisis Milal dan Ricklefs di atas perihal kepengarangan Serat Cabolek. Mungkin benar bahwa Yasadipura I bukanlah sosok pujangga yang menulis Serat Cabolek. Tetapi, keterlibatan Ratu Pakubuwono—sebagaimana pendapat Milal—dalam penyusunan Serat Cabolek juga lebih sulit untuk dibuktikan, setidaknya dari 12 manuskrip yang telah diteliti Soebardi. Hal ini karena nama Ratu Pakubuwono tidak ditemukan dalam manggala dari ke-12 manuskrip Serat Cabolek terebut.

Jika kita cermati manggala yang terdapat dalam edisi standar yang digunakan Soebardi dalam penelitiannya, yakni Serat Cabolek terbitan Van Dorp&Co tahun 1885, maka satu petunjuk yang terang adalah identitas pujangga Kraton Surakarta masa pemerintahan Pakubuwono IV. Agaknya, baik Riklefs maupun Milal, mengabaikan hal tersebut.[]

[1] Warga Desa Kajen. Pegiat Kaneman Kajen Jonggringan (Kanjengan)

[1] Ricklefs juga menelaah lebih lanjut persebaran Serat Cabolek melalui studi katalog yang bisa dijadikan sebagai bahan penelitian leih lanjut. Ia menghimpun beberapa manuskrip yang menggunakan kata 'Cabolek' dalam judulnya. (Lihat Ricklefs, M.C., 1998. The MSS Of Serat Cabolek dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London. Vol. 61, No. 2 (1998), pp. 318-325.)

[1] Ricklefs, M.C. 1997. The Yasadipura Problem dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Deel 153, 2de Afl. pp. 280

[1] Bizawie, Zainul Milal. 2014. Syekh Mutamakkin Perlawanan Kultural Agama Rakyat. Jakarta: Pustaka Compass. Bandingkan dengan Bizawie, Zainul Milal. 2002. “The Thoughts and Religious Understanding of Shaikh Ahmad Al-Mutamakkin: The Struggle of Javanese Islam 1645-1740” dalam Studia Islamika Indonesian Journal for Islamic Studies. Vol. 9. No. 1. Hal. 40

[1] Lihat Winter, CF., Sr., 1911, Javaansche zamenspraken, Vol. 1, edited by T. Roorda, Leiden: Brill dan Djajadiningrat, Hoesein. 1913. Critische beschouwing van de Sadjarah Bant?n; Bijdrage ter kenschetsing van de Javaansche geschiedschrijving, Haarlem: Enschede

[1] Wieringa, Edwin. 1998. "The Mystical Figure of Haji Ahmad Mutamakin from the Village of Cabolek (Java)" dalam Studia Islamika Indonesian Journal for Islamic Studies. Vol 5 No 1. Hal. 25-40

[1] Brandon, James R. 1979. “Reviewed Work(s): The Book of Cabolek by S. Soebardi” dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 10, No. 1. pp. 223

[1] Lebih lanjut cek Behrend, T.E. 1993. “Manuscript Production in Nineteenh-Century Jawa, Codicology and The Writing of Javanese Literary History.” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Deel 149, 3de Afl. MANUSCRIPTS OF INDONESIA. pp. 407-437

(Bersambung ke bag. 3)

.
Dunia Kapujanggan Kraton Surakarta

Winter mencatat 4 pujangga Jawa yang mengabdi di Kraton Kertasura dan Surakarta. Mereka yaitu Carik Bajra, Yasadipura I, Yasadipura II, dan R.Ng. Ranggawarsita.  Ketiga nama yang disebutkan terakhir juga terdapat dalam Serat Ranggwarsita koleksi Perpustakaan Nasional RI dengan nomor koleksi KBG 614. Manuskrip ini ditulis pada 1908, merupakan edisi salinan dari manuskrip bernomor Or. 6467 di Universitas Leiden. Penyalinnya adalah Purwasuwignya atas permintaan D. Van Hinloopen Labberton pada 30 Mei 1909.
 
Meskipun Serat Ranggawarsita jauh lebih kemudian dari masa hidup Ranggawarsita, namun agaknya teks ini bisa dianggap sebagai sumber yang cukup meyakinkan. Di bagian awal naratif, disebutkan bahwa teks ini merupakan hasil dari penceritaan para tetua dan orang-orang yang menangi Ranggawarsita. Manuskrip ini berisi tentang perjalanan hidup pujangga besar R.Ng. Ranggawarsita (1802-1873)  sejak lahir hingga wafat. Di bagian awal juga diceritakan secara ringkas para pujangga yang mendahuluinya, yakni Yasadipura I (1729-1803) dan Yasadipura II (1756-1844). 

Dibandingkan dengan catatan Winter, Serat Ranggawarsita tidak menceritakan tentang riwayat Carik Bajra. Bahkan, secara tegas Serat ini menyebut bahwa Yasadipura I, Yasadipura II, dan R.Ng. Ranggawarsita adalah pujangga Kraton Surakarta. Yasadipura I disebut dengan gelar kapujanggan, R.Ng. Yasadipura, pada masa pemerintahan Kraton Surakarta, yakni saat Pakubuwono III bertakhta (1749-1788).  Keterangan ini memperjelas pendapat Winter bahwa kendati ketiga pujangga tersebut hidup pada dua masa kerajaan, namun menurut Serat Ranggawarsita mereka baru diangkat sebagai pujangga untuk periode pemerintahan Kraton Surakarta. 

Serat Ranggawarsita menyebutkan bahwa Yasadipura I hidup pada masa Pakubuwono III-IV, Yasadipura II hidup pada masa Pakubuwono III-VII, dan R.Ng. Ranggawarsita hidup pada masa Pakubuwono IV-IX. Artiya, ketiga pujangga tersebut sama-sama hidup pada masa pemerintahan Pakubuwono IV. Namun, yang perlu ditekankan di sini adalah sosok penulis atau penyalin Serat Cabolek  yang digunakan Soebardi. Manuskrip tersebut menunjukkan keterangan telah ditulis oleh seorang pujangga pada masa Pakubuwono IV (bertakhta 1788-1820). Akan tetapi, manuskrip tersebut telah diterbitkan pada 1885, persisnya pada masa pemerintahan Pakubuwono IX (bertakhta 1830-1893).

Dari sumber-sumber yang telah dijelaskan di atas, diketahui bahwa Yasadipura I menapaki karier kepujanggannya pada 1729-1803. Artinya, pada saat PB IV bertakhta, yakni pada 1788-1820, Yasadipura I telah wafat. Dengan demikian, Serat Cabolek lebih mungkin ditulis, atau pun disusun oleh Yasadipura II  yang berkarier sebagai pujangga pada 1756-1844. Di kemudian hari, Serat Cabolek direproduksi ulang dan diterbitkan oleh Van Dorp pada 1885 dan 1886. Pada tahun tersebut, pujanga Kraton yang eksis adalah R.Ng. Ranggawarsita. Ia mengabdi pada pemerintahan Pakubuwono IX (bertakhta 1830-1893). 

Behrend  menemukan beberapa naskah yang disalin pada abad ke-19 dengan tujuan komersial. Yakni naskah yang disalin untuk dijual di pasaran, biasanya untuk kepentingan akademisi Belanda; dan naskah yang disalin untuk disewakan. Naskah yang disalin ini semata-mata untuk dikomersilkan, seringnya dengan bahan kertas kuarto dan disalin dengan tergesa-gesa. Behrend juga menemukan 7 manuskrip salinan yang hendak dijual, namun diduga berasal dari abad sebelumnya. Semuanya tersimpan dengan nomor kode KBG, koleksi Perpustakaan Nasional, salah satunya Serat Cabolek. Enam dari satu set manuskrip terebut, termasuk Serat Cabolek, disalin oleh Ranggawarsita pada 1860. 

Penjualan tersebut disinyalir karena kondisi ekonomi Ranggawarsita yang mengalami masa-masa sulit, terutama pada 1861, setelah Pakubuwono IX naik takhta. Persoalan tersebut, kata Behrend, lantas mendorongnya untuk mencari penghasilan tambahan sebagai penyalin manuskrip lepas. Pada paruh kedua abad ke-19, pasar manuskrip Jawa cukup menjanjikan. Banyak kolektor dan akademisi Belanda yang mencari bahan berupa manuskrip, namun pasokannya masih terbatas. Peluang inilah yang coba ditangkap oleh Ranggawarsita
.
Bisa jadi, Serat Cabolek yang kemudian dicetak oleh Van Dorp pada 1886 ada kaitannya dengan penyalinan manuskrip yang dilakukan Ranggawarsita untuk tujuan komersial. Hanya saja, belum ada petunjuk yang benderang ikhwal proses produksi industri percetakan Van Dorp, maupun geliat industri percetakan di luar istana pada masa tersebut.

Perlawanan Simbolik Sang Raja yang Keras Kepala

Pakubuwono IV dikenal sebagai raja Jawa yang anti Belanda. Bahkan, Nancy Florida, seorang pengkaji manuskrip tradisi Surakarta yang tekun, menyebutnya sebagai ‘Raja yang keras kepala’.  Bentuk perlawanan Pakubuwono IV terhadap Belanda antara lain bermaksud untuk membangkitkan ideologi Islam di dalam lingkungan Kraton. Hal ini agar muncul kehidupan yang lebih islami dan sikap yang tegas terhadap intervensi Belanda. 

Hal itu tercermin dalam Babad Pakepung yang menggambarkan pandangan kritis PB IV terhadap patron istananya yang ditulis oleh Yasadipura II. Babad Pakepung menarasikan peristiwa pakepung, yakni pengepungan Kraton Surakarta pada 1790. Pengepungan ini merupakakan hasil kerja sama VOC, Hamengkubuwono I dan Mangkunegoro I. PB IV didesak kompeni agar menyingkirkan para penasihat rohani yang dianggap bakal membahayakan kekuasaan Belanda.

Pakubuwono IV bahkan mendirikan pesantren di lingkungan Kraton (Pesantren Jamsaren). Ia mengangkat Kiai Jamsaren dari Banyumas sebagai penasihat Kraton di bidang keagamaan. Sang Kiai juga ditugaskan untuk mengajar agama Islam bagi para sentana, abdi dan kawula dalem. Tak tanggung-tanggung, Pakubuwono IV memberikan sebidang tanah di sebelah barat daya Kraton untuk dibangun sebuah masjid agar masyarakat setempat dapat ikut belajar Islam. Kawasan tersebut selanjutnya dinamai Jamsaren. 

Langkah politik Pakubuwono IV tersebut, sebagaimana disampaikan dalam Babad Pakepung, yakni untuk menumbuhkan perlawanan terhadap Belanda dan mepersatukan kembali Mataram Islam. Melalui pesantren, Pakubuwono IV berusaha membangun jejaring budaya dan politik dengan pesantren lainnya. Pesantren di lingkungan Kraton dijadikan sebagai wadah konsolidasi religius, sosial, dan budaya. Bersama Kiai Jamsaren, Pakubuwono IV juga membangun komunitas epistemic, yakni perkumpulan sosial para pemeluk Islam yang menentang pemerintahan Kolonial Belanda. 

Setelah peristiwa Pakepung, ruang gerak Pakubuwono IV makin terbatas. Bahkan para penasihatnya, termasuk Yasadipura I yang kala itu masih menjabat sebagai pujangga istana. Hal ini karena Pakubuwono IV dianggap terlalu konfrontatif, mungkin juga dinilai sebagai raja yang kurang berpengalaman. Hal ini pula yang mendorong Pakubuwono IV di kemudian hari lebih ‘menahan diri’ dan lebih banyak mengekspresikan pikiran dan keinginannya melalui jalan sastra. Beberapa karyanya antara lain Serat Wulang Reh, Suluk Mas Nganten, dan Serat Centhini, Serat Musa,dan Serat Anbiya.  Karya-karya tersebut merupakan perwujudan perlawanan simbolik di era pemerintahan Pakubuwono IV. 

Berdasarkan manggala Serat Cabolek terbitan Van Dorp tahun 1886, ternyata manuskrip tersebut merupakan salinan dari manuskrip yang diproduksi pada era Pakubuwono IV. Boleh jadi manuskrip tersebut juga merupakan bentuk perlawanan simbolik. Selain, sebagai sosok raja yang dianggap kurang berpengalaman, pujangga istana kala itu (Yasadipura II) lantas menulis Serat Cabolek untuk membimbing Sang Raja ikhwal pengaturan laku keberaagamaan di lingkungan Kraton. []

(Bersambung ke bag. 4)
.


Pakubuwono II Mengakui Kewalian Mbah Mutamakkin

Alhasil, melihat Serat Cabolek sebagai upaya Kraton untuk mendiskreditkan Kiai Cabolek, atau Kiai Mutamakkin, adalah kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa. Ada persoalan lain yang dihadapi Kraton saat itu. Setelah dicermati kembali konteks penciptaan teks Serat Cabolek, khususnya yang digunakan oleh Soebardi dalam disertasinya, kala itu Kraton Jawa sedang berhadapan dengan represi kolonial Belanda. Upaya legitimasi raja yang berkuasa saat itu, dengan demikian bukan semata-mata dihadapkan dengan ‘agama rakyat’. 

Begitu juga dengan tuduhan sesat yang dialamatkan kepada Kiai Mutamakkin. Beberapa peneliti sebelumnya,  sebagaimana pembacaan mereka atas Serat Cabolek, keburu menempatkan Kiai Mutamakkin sebagai sosok yang anti syariat, sebagaimana dialog-dialog Ketib Anom yang tergambar dalam naratif cerita. Meskipun, mereka kemudian menyangkalnya dengan argumen yang didasarkan pada manuskrip ‘Arsy al-Muwahhidin dan Teks Kajen. 

Padahal, jika dilihat kembali, ada naratif yang memberikan petunjuk tentang sikap keagamaan Kiai Mutamakkin yang menggugurkan tuduhan Ketib Anom. Meskipun Serat Cabolek hanya sedikit menggambarkan sikap kegamaan Kiai Mutaakkin. Adapun naratif tersebut sebagai berikut:

Mesem ngandika sang aji:/ 'Lah Bapang priye si uwa/ lan bocah wadana kabeh/ rempeg ya nuli kukuma/ neng alun-aluningwang./ Sajatine iya ingsun/ tan arsa anurutana/
mring ature uwa patih/ lan sagung para ngulama/ muwah pr wadana kabe./ Wataraku iku Bapang/ nedya den-anggo dhawak/ ngelmune mengkono iku./ Yen durung angajak-ajak/
nelukake kanan kering/ wong manca-pat manca-lima/ manca-nem manca-pitune/ kabeh wus pasah den-ajak/ aja na nganggo sarak/ tan kena ginawe lampus./ Mung "Tirunen ngelmuningwang",/
sarta beleg manjing murid/ yen ta nora mengkonoa/ sun kudu ngapura bae'./ Umatur Rahaden Demang:/ 'Leres karsa paduka.'/ 'Ya Bapang metuwa gupuh/ dhawuhna dudukaningwang/
ya mring si uwa patih/ muwah kang para ngulama/ kalawa wadana kabeh./ Den-pepak ing Kapatihan/ dhawuhna dukaningwang.'/ Sandika mundur wot santun/ wedale sangking jro pura/ (Serat Cabolek, Pupuh II Asmarandana, Bait 17-21) 

Artinya:
Tersenyum Raja berkata:/ “Wahai, Bapang, apa pendapatmu, bahwa Perdana Menteri/ dan para wadana/ semua setuju Mutamakkin supaya langsung dihukum/ di alun-alunku./ Kebenaran mengatakan padaku,/ ‘Jangan mau menuruti
nasihat pamanku Perdana Menteri.’/ Semua para ulama/ dan para wadana,/ dalam pandanganku, Bapang,/ dia (Mutamakkin) memaksudkan hanya untuk dirinya/ ilmu semacam ini./ Kalau ia tidak mengajak (orang lain)
membuat perubahan di sana-sini,/ orang-orang dari manca-pat dan manca-lima/ dari manca-nem dan manca-pitu/ dan semua dengan berhasil telah diajak untuk menolak Hukum/ dia tidak dapat dihukum mati/ kalau (ia hanya berkata): ‘Tirulah ilmu Mistikku,’
dan banyak yang telah menjadi muridnya,/ dan kalaupun ia tidak (bertindak) dengan cara ini (tetapi berbuat lebih buruk lagi)/ saya tetap harus memaafkannya.”/ Rahaden Demang berkata:/ “Betul sekali Tuanku.”/ “Bapang, pergilah segera/ sampaikan ketidaksenanganku
kepada uwaku Perdana Menteri,/ juga kepada para ulama/ bersama semua para wadana/ supaya semua berkumpul di Kepatihan/ dan umumkan kepada mereka ketidaksenanganku.”/ Lalu ia mengundurkan diri dengan taat dan hormat/ ia meninggalkan istana 

Percakapan antara Pakubuwono II dan Demang Urawan dalam naratif tersebut terjadi setelah para ulama dari berbagai penjuru berkumpul. Tak lain niat mereka adalah menuntut agar Kiai Mutamakkin dihukum bakar. Namun, Pakubuwono II secara khusus memanggil orang kepercayaannya, Demang Urawan, ke dalam istana untuk ditanyai perkembangan persidangan. 

Demang Urawan lantas menceritakannya. Termasuk sikap Kiai Mutamakkin tentang keyakinan mistiknya, tentang gurunya (Sykeh Zain dari Yaman), serta sikap Sang Kiai yang mengisi waktunya selama perjalanan dengan membaca kisah Bima Suci. Begitu juga terkait keberaniannya yang mau menerima dengan ikhlas jika hendak dihukum oleh Sang Raja.

Adapun olok-olok yang ditujukan terhadap Kiai Mutamakkin, sebagaimana sebutan ‘dungu’ dan sebagainya, pun dibela oleh Sang Raja dalam pupuh berikutnya. Bahkan, Sang Raja menyebut Kiai Mutamakkin sebagai panggawening suksma, petugas suksma, yang bisa dimaknai sebagai orang suci, waliyullah, kekasih Tuhan. Percakapan antara Sang Raja dengan Demang Urawan di bawah ini terjadi setelah para ulama, khususnya Ketib Anom, bermaksud menolak pesan pengampunan Sang Raja yang disampaikan oleh Demang Urawan. Mereka meneguhkan maksudnya untuk membela Raja sebagai pemimpin agama, terkait dengan tuntutan atas Kiai Mutamakkin. Adapun pembelaan Sang Raja sebagaimana digambarkan dalam naratif berikut:
Mesem ngandika Sang Prabu:/ 'Iku Bapang wus pinasthi/ tinitah dhapurer ala/ sinungan atine suci/ dadi panggawening Suksma/ pinasthi atine suci.' (Serat Cabolek, Pupuh IV Kinanthi, Bait 33) 
Artinya:
Sang Prabu senyum berkata:/ “Itulah, Bapang, telah menjadi suratan,/ ia diciptakan dengan tampang dungu/ tapi diberi hati yang suci;/ untuk menjadi petugas Suksma/ (ia telah) ditakdirkan memiliki  hati suci.”

Kendati demikian, Sang Raja tetap mengucapkan terima kasih kepada para ulama yang bermaksud membela kewibaannya sebagai pemimpin agama. Namun sekali lagi, keputusan Raja untuk mengampuni Kiai Mutamakkin tak bisa diganggung gugat. Dalam sebuah dialog yang cukup menegangkan dengan Ketib Anom Kudus, Demang Urawan bahkan mendakwa Sagng Ketib sebagai biang masalah dari perkara persidangan Kiai Mutamakkin.

Naratif tersebut digambarkan dalam Serat Cabolek sebagai berikut:
Lah iya ingong kewala/ kang dadya wakil Sang Aji/ aduduka marang sira./ Heh pagene ya sireki/ aweh rubeding bumi/ gawe rurungoning Ratu/ ujar durung sembada/ sira matur mring wa patih?/ Apa amring duduning para ngulama/
gawe rurungoning praja/ gawe delajading bumi?/ Mas Ketib Anom turnya ris:/ 'Langkung nuwun kapundhi/ duduka dalem kang dhawuh/ nanging inggih sadaya/ kang abdi punika sami/ langkung sangking tanpa niyat tan anedya/ (Serat Cabolek, Pupuh  III Sinom, Bait 8-9) 

Artinya:
Biarlah saya menjadi seorang/ yang atas nama Raja/ menegurmu./ Mengapakah, bahwasanya Anda/ menyebabkan kekacauan pada negara/ dengan membawa masalah ini pada Raja/ walaupun perkaranya belum sepenuhnya tuntas/ dengan melaporannya kepada Perdana Menteri?/ Apakah menjadi maksudmu membawa ketakberuntungan kepada para ulama,
menimbulkan kebingungan di kerajaan/ dan membawa aib pada negara?/ Setelah ketaksenangan Raja selesai disampaikan/ Ketib Anom berkata lirih:/ “Saya sangat berterima kasih, dan menghormati/ ketidaksenangan Raja yang telah Anda sampaikan/ tapi sebagaimana diketahui/ tidak satupun dari kami (para ulama)/ bermaksud atau merencanakan/ 

Setelah melihat fakta historis di seputar penciptaan teks Serat Cabolek, yakni masa Pakubuwono  IV, saya lebih condong ke pendapat Soebardi dan Ricklefs, bahwa Serat Cabolek merupakan gambaran konflik antara mistisisme Jawa yang panteistik, dengan Islam ortodoks yang legalistik. Sang pujangga berperan sebagai sosok yang mengedepankan harmoni dari kedua kubu tersebut melalui perlawanan simbolik  Serat Cabolek. 
Sang pujangga berusaha melestarikan ciri kebudayaan Jawa melalui cerita Dewa Ruci. Secara substansial, cerita Dewa Ruci dalam Serat Cabolek dipersamakan dengan empat tahapan jalan mistik Islam, khususnya untuk menarasikan tahapan hakikat dan makrifat. 
Namun tak berhenti di situ. Perlawanan simbolik tersebut juga bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran relijius dan politik orang Jawa, khususnya kalangan istana, bahwa Jawa dan Islam adalah satu kesatuan. Bukan seperti narasi Belanda yang mempertentangkan keduanya. 
Pasalnya, pasca Perang Diponegoro, pihak Belanda semakin waspada terhadap nuansa Islam yang mengemuka yang disinyalir dapat menimbulkan pemberontakan. Akibatnya, dengan segala upaya, Belanda mencoba membuat jarak antara Jawa dengan Islam, baik di ranah produksi kesusastraan maupun di ranah regulasi administrasi. []

0 Viewers