Oleh: Ahmad Al Wajih [i]
Di sampul belakang, pihak penerbit
sudah memberikan rambu, kalau derajat humor cerpen Joko Pinurbo adalah
kepastian, maka kumpulan cerpen Mbah Nyut adalah Wallahu A’lam Bisshawab.
Benarkah serumit itu?
Butuh
perenungan mendalam untuk memberikan apresiasi atas kumpulan cerpen karya Embah
Nyut ini. Sebab, kumpulan cerpen Gusti Mboten Shareloc boleh dikatakan
“berbeda” dari kumpulan cerpen yang pernah saya baca.
Bagaimana
tidak berbeda, lha wong sejak
judulnya saja ya begitulah. Ngakunya cerpen
dengan beberapa cerita tidak jelas lainnya. Faktanya, memang iya dan bisa jadi
belum tentu. Di situ kadang saya ingin bertanya-tanya ke Embah Nyutz: karepmu opo tho mbah?
Sebagai
hamba yang dhaif di dunia literasi,
sebenarnya buku ini asyik untuk “cukup” dibaca saja. Kalaupun terpaksa dibedah
dengan analisis teks dan teori-teori njelimet,
saya justru khawatir nantinya buku ini tidak nikmat lagi.
Tanpa
bermaksud mengurangi kadar hormat bagi beliau si penulis dan maqam kita sebagai pembaca yang masih di
level ikhtiar, baiknya kita coba pakai analogi untuk memberikan secuplik
apresiasi.
Analogi Kopi
Bagaimana
kalau kopi saja? Sederhana tapi rasanya bisa menjelaskan hampir segalanya.
Kalau sepakat, kita lanjut.
Ya,
Gusti Mboten Shareloc semacam kopi,
kopi tubruk tepatnya, tapi buatan barista yang sudah tidak pusing dengan bentuk
latte art. Walaupun kopi tubruk adalah sajian kopi terjujur yang pernah
ada, kalau barista yang menyeduh, tentu saja hasilnya berbeda.
Sedangkal
wawasan saya soal kopi, barista, dan hal-hal semacam itu, paling tidak
prosesnya begini.
Biji
kopinya tak sembarang comot. Proses penggilingan dan sangrainya diamati dengan
seksama. Jenis air dengan kandungan mineral tertentu sengaja dipilih untuk
mempertajam aksen dan citarasa kopi. Tentu saja jangan lupa, temperatur airnya
tidak boleh terlalu panas atau di bawah suhu rata-rata yang dibutuhkan untuk
menyeduh kopi enak. Selebihnya? Di luar daya upaya serba teknis itu, ada
sentuhan citarasa terdalam si barista, setelah pencarian panjangnya selama
bertahun-tahun di jagat kopi.
Kopi
walaupun tubruk, niscaya mendapat standing
applaus dari para kritikus kopi.
Minimal, mengundang rasa penasaran dari para nubie atau anak baru gaul yang tidak ingin kehilangan update feed di media sosial.
Oleh
para empu gastronomi, cukuplah tepukan pelan di pundak sebagai pengakuan atas
kedalaman hikmah sajian kopi. Pada level sesama barista, derajatnya dibaca
sebagai gaya atau selera penyajian yang bisa dipelajari tapi sulit ditiru
karena di level begini, sajian kopi itu sudah mirip kode genetik. Bagi barista
anyaran, malah berpotensi jadi panutan atau kiblat baru dalam menyajikan kopi.
Jika
masih bingung, cobalah baca Filosofi Kopi-nya
Dee Lestari. Gambaran citarasa kopi racikan barista yang pandhita itu sering bikin terheran-heran: Kok bisa hanya bubuk kopi ditubruk air panas sensasi flavour-nya bisa sulit dijangkau
kata-kata?
Angel wes, angel…
Beli Dulu, Bacanya Nanti Saja
Kalau
tidak salah ingat, Franz Kafka sang pesohor sastra pernah bilang, jika anda sumpek dengan dunia nyata, anda bisa
mengungsi sementara waktu ke semesta aksara. Di masa pandemik seperti sekarang,
kiranya buku Embah Nyutz ini bisa jadi tawaran yang bagus buat anda yang
memilih tak ke mana-mana. Melalui cerita, tentu.
Dalam
satu cerita, bisa saja terasa sangat biasa. Betul-betul biasa nyaris dalam arti
sebenarnya. Tapi di cerita yang lain, butuh pengkondisian suasana batin yang di
luar kebiasaan untuk tidak menyebutnya luar biasa.
Misalnya
dalam cerita berjudul “Perempuan yang Datang Sore Hari”, kesannya seperti
membaca curhat bernada sastrawi. Contoh lainnya, kisah sederhana “Merak di
Langit”, yang agak berbau mistis, tetapi sufistis. Atau cerita tiga babak yang
berbeda latar dan subyek, tapi sebenarnya punya pertalian takdir di “Anak:
Kisah Tiga Rumah.”
Maka
pembaca jangan heran saat membaca buku kumpulan cerpen ini. Ada kalanya tersenyum-senyum
sendiri, termenung-menung, misuh-misuh,
bahkan tenggelam dalam samudera imajinasi yang maknanya tidak bisa diberi nama.
Embah Nyut adalah pemandunya, sementara cerpen-cerpennya wahana wisatanya.
Lho,
sekarang nyasar wisata? Ulasan kopi gimana? Yaa sudahlah, toh buku ini
derajatnya Wallahu A’lam, dan mungkin juga peresensinya
kurang piknik.
Satu
lagi, pesan dari si penulis: yang penting sampean beli, bacanya kapan-kapan
juga boleh.
Judul
Buku : Gusti Mboten Shareloc dan
Beberapa Cerita Tidak Jelas Lainnya
Tahun
Terbit : 2020
Penulis : Embah Nyutz
Penerbit : Diva Press
0 Viewers