Seumpama Kopi, Gusti Mboten ShareLoc Adalah Kopi Tubruk yang Diracik Pandhita-Barista

Jumat, 26 Maret 2021

Oleh: Ahmad Al Wajih [i]

Di sampul belakang, pihak penerbit sudah memberikan rambu, kalau derajat humor cerpen Joko Pinurbo adalah kepastian, maka kumpulan cerpen Mbah Nyut adalah Wallahu A’lam Bisshawab. Benarkah serumit itu?

Butuh perenungan mendalam untuk memberikan apresiasi atas kumpulan cerpen karya Embah Nyut ini.  Sebab, kumpulan cerpen Gusti Mboten Shareloc boleh dikatakan “berbeda” dari kumpulan cerpen yang pernah saya baca.

Bagaimana tidak berbeda, lha wong sejak judulnya saja ya begitulah. Ngakunya cerpen dengan beberapa cerita tidak jelas lainnya. Faktanya, memang iya dan bisa jadi belum tentu. Di situ kadang saya ingin bertanya-tanya ke Embah Nyutz: karepmu opo tho mbah?

Sebagai hamba yang dhaif di dunia literasi, sebenarnya buku ini asyik untuk “cukup” dibaca saja. Kalaupun terpaksa dibedah dengan analisis teks dan teori-teori njelimet, saya justru khawatir nantinya buku ini tidak nikmat lagi.

Tanpa bermaksud mengurangi kadar hormat bagi beliau si penulis dan maqam kita sebagai pembaca yang masih di level ikhtiar, baiknya kita coba pakai analogi untuk memberikan secuplik apresiasi.

 

Analogi Kopi

Bagaimana kalau kopi saja? Sederhana tapi rasanya bisa menjelaskan hampir segalanya. Kalau sepakat, kita lanjut.

Ya, Gusti Mboten Shareloc semacam kopi, kopi tubruk tepatnya, tapi buatan barista yang sudah tidak pusing dengan bentuk latte art. Walaupun kopi tubruk adalah sajian kopi terjujur yang pernah ada, kalau barista yang menyeduh, tentu saja hasilnya berbeda.

Sedangkal wawasan saya soal kopi, barista, dan hal-hal semacam itu, paling tidak prosesnya begini.

Biji kopinya tak sembarang comot. Proses penggilingan dan sangrainya diamati dengan seksama. Jenis air dengan kandungan mineral tertentu sengaja dipilih untuk mempertajam aksen dan citarasa kopi. Tentu saja jangan lupa, temperatur airnya tidak boleh terlalu panas atau di bawah suhu rata-rata yang dibutuhkan untuk menyeduh kopi enak. Selebihnya? Di luar daya upaya serba teknis itu, ada sentuhan citarasa terdalam si barista, setelah pencarian panjangnya selama bertahun-tahun di jagat kopi.

Kopi walaupun tubruk, niscaya mendapat standing applaus dari para kritikus kopi. Minimal, mengundang rasa penasaran dari para nubie atau anak baru gaul yang tidak ingin kehilangan update feed di media sosial.

Oleh para empu gastronomi, cukuplah tepukan pelan di pundak sebagai pengakuan atas kedalaman hikmah sajian kopi. Pada level sesama barista, derajatnya dibaca sebagai gaya atau selera penyajian yang bisa dipelajari tapi sulit ditiru karena di level begini, sajian kopi itu sudah mirip kode genetik. Bagi barista anyaran, malah berpotensi jadi panutan atau kiblat baru dalam menyajikan kopi.

Jika masih bingung, cobalah baca Filosofi Kopi-nya Dee Lestari. Gambaran citarasa kopi racikan barista yang pandhita itu sering bikin terheran-heran: Kok bisa hanya bubuk kopi ditubruk air panas sensasi flavour-nya bisa sulit dijangkau kata-kata?

Angel wes, angel…

 

Beli Dulu, Bacanya Nanti Saja

Kalau tidak salah ingat, Franz Kafka sang pesohor sastra pernah bilang, jika anda sumpek dengan dunia nyata, anda bisa mengungsi sementara waktu ke semesta aksara. Di masa pandemik seperti sekarang, kiranya buku Embah Nyutz ini bisa jadi tawaran yang bagus buat anda yang memilih tak ke mana-mana. Melalui cerita, tentu.

Dalam satu cerita, bisa saja terasa sangat biasa. Betul-betul biasa nyaris dalam arti sebenarnya. Tapi di cerita yang lain, butuh pengkondisian suasana batin yang di luar kebiasaan untuk tidak menyebutnya luar biasa.

Misalnya dalam cerita berjudul “Perempuan yang Datang Sore Hari”, kesannya seperti membaca curhat bernada sastrawi. Contoh lainnya, kisah sederhana “Merak di Langit”, yang agak berbau mistis, tetapi sufistis. Atau cerita tiga babak yang berbeda latar dan subyek, tapi sebenarnya punya pertalian takdir di “Anak: Kisah Tiga Rumah.”

Maka pembaca jangan heran saat membaca buku kumpulan cerpen ini. Ada kalanya tersenyum-senyum sendiri, termenung-menung, misuh-misuh, bahkan tenggelam dalam samudera imajinasi yang maknanya tidak bisa diberi nama. Embah Nyut adalah pemandunya, sementara cerpen-cerpennya wahana wisatanya.

Lho, sekarang nyasar wisata? Ulasan kopi gimana? Yaa sudahlah, toh buku ini derajatnya Wallahu A’lam, dan mungkin juga peresensinya kurang piknik.    

Satu lagi, pesan dari si penulis: yang penting sampean beli, bacanya kapan-kapan juga boleh.

 

Judul Buku   : Gusti Mboten Shareloc dan Beberapa Cerita Tidak Jelas Lainnya

Tahun Terbit : 2020

Penulis           : Embah Nyutz

Penerbit         : Diva Press

 




[i] Pegiat Kaneman Kajen Jonggringan. Pengasuh Ponpes. Kulon Banon, Kajen

0 Viewers