(Ilus.) Foto Santri Pondok Pesantren. Foto: Pesantren Sabilil Muttaqin
__
oleh M. Farid Abbad*
Judul di atas sebenarnya hanya sekedar pemanis saja dari apa yang ingin saya tulis dalam esai ringan ini. Kata etnografi adalah kata baru yang saya terima kira-kira dua tahun yang lalu saat saya pertama kali masuk kelas Antropologi Pascasarjana UI. Semula saya tidak pernah mendengar kata itu sama sekali meskipun saya sebelumnya secara tidak sadar membaca karya etnografi dari berbagai macam tema. Lalu ketika saya masuk kelas Etnografi saya semakin jatuh cinta dengan materi ini. Karena selain ini adalah pendekatan khas yang hanya dimiliki oleh disiplin Antropologi metode ini bekerja sangat menarik. Instrumennya adalah seluruh indra yang kita miliki, mata, pendengaran, rasa, insting, intuisi, dan semacamnya.
Secara sederhana yang saya fahami dari etnografi adalah bagaimana kita menulis tentang sebuah komunitas masyarakat beserta kebudayaannya, semua struktur dan komponen yang membentuknya secara detail dan komprehensif. Dan seorang etnografer harus menyelam secara langsung dalam kehidupan subjek penelitiannya. Dalam bahasa antropologi dikenal dengan going native. Menjadi bagian dari masyarakat yang diteliti. Karenanya, live in menjadi sebuah kewajiban bagi orang yang ingin meneliti subjeknya dengan etnografi.
Salah satu buku etnografi yang sampai sekarang mengesankan sekali bagi saya adalah buku yang berjudul “Back Door Java” pintu belakang orang jawa. Buku ini adalah salah satu buku yang menceritakan tentang bagaimana pintu belakang orang jawa memilki fungsi yang begitu penting. Sebab, kebudayaan jawa yang penuh denga ritual, gotong royong, tepo seliro, komunalisme, mengekspresikan itu dengan cara membantu tetangga atau saudaranya yang sedang punya gawe. Praktek ngalong dalam istilah jawa ini selalu melibatkan banyak orang, dan pintu belakang rumah menjadi kunci mobilitas orang-orang untuk berbelanja, mengantar manganan ke tetangga, atau sekedar meminta gula atau garam ketika kehabisan.
Hal-hal yang kita anggap remeh dan tidak begitu penting itu ternyata oleh seroang antropolog di bawa ke wilayah yang lebih luas, dari soal kebudayaan, gender, solidaritas, sampai pada kultur yang sudah melekat kuat dalam kehidupan orang-orang jawa. Inilah salah satu kekuatan etnografi yang mampu melukiskan – dalam bahasa Greetz ‘Thick Description’ lukisan yang detail tentang realitas.
Selama masa pandemi ini semua orang, termasuk saya dituntut untuk tidak banyak pergi ke mana-mana jika tidak ada acara yang betul-betul medesak dan penting. praktis, aktivitas saya selama di rumah hanya membaca, mengajar, dan menulis. Dalam aktivitas itu kemudian muncul banyak ide, gagasan yang mengalir deras seperti air bah. Terutama teori-teori Antropologi yang saya pelajari selama empat semester penuh. Selama saya mengajar di pesantren saya baru tersadar ternyata banyak keunikan komunitas pesantren sebagai small scale society. Sebagai sub-kultur ternyata kehidupan dan aktivitas pesantren memilki ciri khasnya sendiri. Ia seperti membentuk kehidupan sendiri yang terlepas dari kehidupan masyarakat di luarnya.
Saya merasa bahwa pesantren adalah laboratorium antropologis yang kaya dengan nuansa. Banyak sudut-sudut keunikan yang bisa diselami dan interpretasi. Karenanya dalam tulisan berikutnya akan saya uraikan satu persatu. Sekian.
*Penulis adalah pegiat Kanjengan dan Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Al-Roudloh Kajen