Semesta Manusia; Harmonisasi Budaya dan Alam

Senin, 03 Mei 2021

 

(Ilus.) Foto semesta. Foto: Pixabay

__


oleh Muhammad Farid Abbad*

 

Semesta Kecil

    Dalam Kitab Kimiya’us Sa’adah imam al-Ghazali sudah memberikan peta besar tentang semesta diri manusia. Awalnya Tuhan menciptakan tumbuh-tumbuhan (Vegetative Kingdom) untuk memenuhi lapisan bumi, kemudian Tuhan menciptakan hewan-hewan (Animal Kingdom) untuk menghuni bumi dan mencukupi kebutuhannya dengan adanya tumbuh-tumbuhan yang sudah diciptakan sebelumnya. Lalu, barulah Tuhan menciptakan Manusia (Human Kingdom) untuk mengatur serta mengelola seluruh ciptaan yang ada sebelumnya.

    Ini membuktikan bahwa manusia adalah tujuan akhir dari penciptaan semesta ini. Manusia adalah masterpiece-Nya. Seluruh kecerdasan dan kecanggihan dimiliki manusia karena ia diberi amanah Tuhan untuk menata semesta ini. Karenanya, dalam pembukaan kitab itu Imam Ghazali mempertanyakan kesadaran manusia, siapa dirimu sebenarnya? Siapa yang menciptakanmu? Dari mana engkau berasal? Dan hendak ke mana tujuanmu? Bagaimana engkau mendapatkan kebahagiaan? Lalu, bagaimana engkau menghindari kesengsaraan?

    Pertanyaan-pertanyaan itu merupakan pertanyaan eksistensial yang selalu dicari oleh manusia sampai kapanpun. Karena kesadaran adalah energi yang menggerakkan kehidupan manusia untuk menemukan dirinya yang sejati. Karena itu, lebih lanjut al-Ghazali mengatakan jika engkau menganggap dirimu yang sejati adalah bentuk fisik yang memiliki kepala, tangan, kaki, pada saat lapar mencari makanan, pada saat haus mencari minuman, pada saat ingin melakukan seks lalu engkau mencari pasangan, maka engkau tidak beda dengan binatang.

    Dari sini al-Ghazali memetakan dalam diri manusia. Ada sifat-sifat bahimiyah, yaitu sifat-sifat binatang seperti makan, minum, dan bersenggama. Lalu, sabu’iyah yaitu dorongan untuk berbuat jahat, rakus, menyakiti, konflik. Kemudian, syaitaniyah dorongan untuk manipulasi, konflik, provokasi, menebar hoaks, dan sebagainya. Lalu, sifat-sifat malaikat yang suci dan selalu rindu serta takjub untuk menyaksikan keindahan Yang Ilahi.

    Tugas berat manusia adalah mengelola dan menjinakkan sifat-sifat negatif dalam dirinya. Lalu, mencari dan terus mendalami sifat-sifat diri yang mampu meningkatkan kecerdasan dan kepekaaan diri agar bisa memunculkan sifat-sifat baik seperti kedermawanan, kepedulian, cinta, dan kasih. Karena prinsip pengelolaan diri adalah keselarasan dan keseimbangan. Semesta adalah guru terbaik untuk kita tiru dan pelajari.

    Dengan demikian manusia dalam menjalani kehidupannya akan menjadi otonom dan berdaulat. Tidak mudah jatuh dalam kemelekatan yang bersifat material, dan selalu menyadari tentang tugas, fungsi dan perannya. Sehingga, ia akan menemukan kebahagiaan sejati sebagai makhluk rohani.

 

Semesta Besar

    Dalam tradisi Taoisme banyak orang yang mendalami kehidupan ini dengan menggunakan kearifan dan ajaran-ajaran hidup dari bijak bestari. Ada istilah penting yang menjadi pintu masuk untuk mendalami makna Tao, yang berarti jalan. Jalan ini diartikan sebagai jalan yang sudah dibentangkan oleh Tuhan bagi setiap manusia.

    Tao dalam tradisi Islam bisa disebut sebagai syariat, atau jalan menuju Yang Ilahi. Namun, syariat ini tidak dimaknai sebagai hukum fikih an sich melainkan ia adalah jalan yang mengatur seluruh kehidupan manusia. Pemaknaan syariat dalam konteks ini lebih dalam karena mengatur relasi tidak hanya dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama manusia dan alam semesta.

    Manusia sebagai pusat semesta memikul tanggung jawab sebagai hamba yang harus terus menerus tunduk kepada Yang Ilahi. Karena, semua hal yang berhubungan dengan-Nya adalah bekal yang menjadikan manusia untuk selalu terhubung dengan-Nya. Kalau dicermati, semua perintah Tuhan yang bersifat ritual seperti salat, zakat, puasa, haji adalah praktk penubuhan agar tubuh-fisik menyatu dan terbiasa dengan kebaikan, kebijaksanaan, kearifan, derma dan kebajikan. Karena tubuh adalah instrumen penting yang harus terus menerus dikelola, dididik, dibiasakan dengan hal-hal yang positif agar pada gilirannya ia mampu mempengaruhi tubuh  “rohani” dalam dirinya.

    Tao juga megajarkan posisi manusia yang memantulkan nama-nama Tuhan yang indah di bumi ini. Karena semesta ini adalah “Biografi Tuhan” maka setiap manusia dituntut untuk jeli membaca jejak-jejak Tuhan yang terhampar di jagat ini. Keselarasan semesta yang indah ini adalah citra dari Tuhan yang Maha Indah. Kerelaan Matahari yang memberikan sinar kepada Ibu Bumi adalah citra dari kehendak Tuhan yang Maha Memberi. Bumi yang menumbuhkan berbagai macam tumbuhan, mengeluarkan air, memberi kehidupan kepada mahluk Tuhan adalah kehendak dari Tuhan yang Maha Kasih.

    Istilah lain untuk menjelaskan semesta adalah Wu wei, bahwa alam raya ini terkembang sebagai guru. Setiap yang bernafas adalah pantulan dari Tuhan Yang Maha Hidup. Oleh karena itu, dalam melihat realitas apapun yang hadir di semesta ini kita harus mampu untuk mencecap dimensi ketuhanan yang berada di dalamnya. Sehingga pandangan kita selalu diliputi oleh getaran cinta dan kasih sayang. Inilah makna hakiki dari pengabdian.

    Selanjutnya, Qi adalah sebuah konsepsi tentang energi. Setiap makhluk yang hidup di semesta ini membawa energinya masing-masing. Dan energi ini saling menopang antara satu dengan yang lain. Semua benda, bahkan seperti batu, logam, emas, air, api, udara, yang tidak bernafas mempunyai peran dan andil besar dalam menjaga eksistensi manusia. Semakin kita sering menyapa dan mendoakan kebaikan untuknya, maka energi itu akan terus terikirim kepada kita untuk membantu memudahkan kerja kemanusiaan kita.

    Karena itu, kerja sama dan sinergi adalah kata kunci. Jika kita ingin memahami dan lebih mendalami makna Tao/Syariat dalam hidup ini maka kita harus terus membangun kesadaran bahwa kita adalah bagian dari keluarga semesta ini. Sebagai pemimpin keluarga kita harus memahami fungsi dan keberadaan kita. Dan tugas kita adalah sebagai penyeimbang, penyelaras, serta menyatukan seluruh energi yang ada di semesta ini untuk mengabdi kepada-Nya.

 

Relasi Culture - Nature

    Dalam tradisi antropologi, ada seorang pemikir penting Donna J Haraway yang tidak terlalu dikenal di kalangan intelektual Indonesia, tetapi pemikirannya mengenai feminisme, posthumanisme, dan kritiknya terhadap antroposentrisme sangat dikenal di Amerika. Dalam karyanya Companion Species Manifesto: Dog, People and Otherness (2003) pokok utama pemikiran Haraway tentang spesies pendamping manusia adalah dengan tidak lagi menempatkan spesies lain di luar manusia sebagai objek, melainkan sebagai subjek. Artinya, kata Haraway, hewan seperti anjing pun seharusnya sebagai subjek. Dengan demikian hubungan kedua spesies ini, manusia dan binatang menjadi setara. Ketika hubungan dua spesies itu setara, maka perilaku kedua spesies itu akan mencari bentuk yang “seimbang”.

    Martin Holbraad dalam The Ontological Turn: An Anhtropological Exposition (2017) menggunakan ontologi sebagai sebuah metodologi dalam riset Antropologi. Bagi Holbraad human dan things (benda yang kongkret ataupun sesuatu yang tidak kongkret) memiliki kesetaraan. Things adalah subjek yang memiliki otonominya. Antara ide dan materi adalah satu kesatuan dalam satu entitas. Things ini juga terelasi dengan manusia membentuk jaring yang tersturktur dan saling mempengaruhi. Jaringan yang terstruktur itu mungkin tidak secara langsung efeknya. Tetapi lambat laun terasa dan muncul. Misalnya hutan yang selama ini kita perlakukan sebagai objek, ditebangi dan dieksplorasi habis-habisan untuk kepentingan manusia. Kayunya digunakan untuk kursi, meja, rumah, ukiran yang memberi bentuk kebudayaan pada manusia tetapi merusak alam. Di sinilah hubungan antara culture dan nature yang tidak selaras dan timpang. Jika kita meletakkan hutan dalam posisi subjek yang otonom atas kehendaknya sendiri, maka hutan itu akan menjaga alam ini, dengan demikian keseimbangan akan terjaga. Nature-culture akan selaras dan tidak timpang.[]

  Kajen, 27 Januari 2021

 

 

*Penulis adalah pegiat Kanjengan dan Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Al-Roudloh Kajen



0 Viewers