(Ilus.) Manuskrip beraksara Jawa. Foto: Abrori
__
oleh Taufiq Hakim*
Syekh Ahmad Mutamakkin dikenal sebagai wali penyebar Islam di kawasan Pantai Utara Jawa. Ia lahir dan besar di Tuban, Jawa Timur. Orang-orang kerap memanggilnya dengan nama Mbah Surgi, Mbah Ahmad, Mbah Bolek, Mbah Mutamakkin, atau pun Mbah Sumohadiwijaya.
Nama yang terakhir disebut, selama ini dianggap sebagai nama lahir Syekh Mutamakkin. Berdasarkan kisah yang diyakini secara turun-temurun oleh masyarakat Kajen, jika ditarik ke atas, sanad Sumohadiwijaya sampai kepada Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir. Leluhur Syekh Mutamakkin ini dikenal sebagai Raja Kraton Pajang yang eksis pada paruh kedua abad ke-16.
Kendati darah bangsawan Jawa mengalir di tubuhnya, Syekh Mutamakkin lebih memilih hidup sebagai pembawa risalah ilahi ketimbang menduduki takhta Pajang. Ia lantas berkelana, berguru, hingga rihlah ke Yaman untuk menimba ilmu kepada sejumlah mujtahid. Usai nyantri di Yaman itulah, nama Mutamakkin disandangnya. Nama julukan yang mempunyai arti 'teguh', atau 'memantapkan hati' hanya kepada Allah.
Kira-kira Syekh Mutamakkin hidup tahun 1645-1740 M. Perkiraan ini didasarkan pada riwayat Syekh Mutamakkin yang pernah disidang di pengadilan Kertasura pada masa Amangkurat IV, dan dilanjutkan pada masa pemerintahan Pakubuwana II. Persidangan tersebut disebabkan oleh perbedaan penafsiran ilmu hakikat yang diyakini Syekh Mutamakkin.
Bahkan, Syekh Mutamakkin didakwa membahayakan perbawa Raja Jawa sebagai pengatur kehidupan beragama atau panatagama. Dakwaan ini datang dari kelompok penghulu kerajaan yang tidak sepakat dengan Syekh Mutamakkin. Pasalnya, Syekh Mutamakkin kerap mempergelarkan lakon wayang Dewa Ruci dan dianggap membabar ajaran rahasia kepada khalayak awam. Meskipun, jika Serat Cabolek dicermati, pengampunan Sunan Pukubuwana II sebagai Raja Surakarta kala itu, bukan tanpa alasan. Namun karena Pakubuwana II mengakui kewalian Syekh Ahmad Mutamakkin. Sedangkan tuduhan-tuduhan barisan penghulu Ketib Anom tidak dapat dibuktikan di meja pengadilan.
Kemasyhuran Sang Mutamakkin hingga kini dikenang oleh masyarakat, khususnya masyarakat Desa Kajen, desa tempat pemakamannya. Berbagai tradisi dan ritual keagamaan digelar untuk memperingati Sang Waliyullah berdarah bangsawan Jawa ini.
Di desa tersebut juga berdiri sebuah Masjid Kajen yang diyakini masyarakat sebagai peninggalan Syekh Mutamakkin. Letak Masjid Kajen tak jauh dari pemakamannya, kira-kira 50 meter di sebelah timur. Persisnya terletak di jantung Desa Kajen. Uniknya, di dalam masjid terdapat inskripsi-inskripsi beraksara pegon dan pahatan-pahatan sarat makna.
Pahatan tersebut terdapat di mimbar kotbah yang berbentuk hiasan ukir-ukiran dekoratif. Ukir-ukiran tersebut berbentuk dua kepala naga bermahkota. Sosok yang lebih mirip dengan Naga Antaboga, atau dewa ular naga dalam mitologi Jawa. Mimbar tersebut berhiaskan sulur-sulur bunga teratai dan gajah yang menggenggam tombak trisula.
Julukan Syekh Mutamakkin dalam Manuskrip Jawa dan Kisah-kisah yang Meliputinya
Sumber-sumber tertulis tentang kehidupan dan ajaran Syekh Mutamakkin masih terbatas. Beberapa manuskrip yang mendokumentasikan kisah Syekh Mutamakkin antara lain Teks Kajen, Teks Pakem Kajen alias Suluk Alif, dan 15 versi manuskrip Serat Cabolek.
Beberapa manuskrip tersebut secara garis besar mengisahkan riwayat Syekh Mutamakkin, meliputi perdebatan ilmu hakikat hingga pengadilan di Kraton Kertasura. Manuskrip-manuskrip tersebut mempunyai nama dan julukan yang berbeda untuk menyebut sosok Syekh Mutamakkin. Misalnya Ki Cabolek, Kiai Mutamakkin, Haji Ahmad Mutamakkin, dan Hadikusuma. Perbedaan nama dan julukan tersebut mempunyai latarbelakang dan maksud, sekaligus menunjukkan identitas Syekh Ahmad Mutamakkin.
Di sisi lain, beragam julukan, penggantian dan penambahan nama
seseorang dalam tradisi Jawa lazim terjadi. Hal itu biasanya dilakukan ketika
seseorang telah mencapai derajat tertentu, baik di bidang keagamaan,
pemerintahan, maupun untuk keperluan tertentu. Sebut saja Raden Said, putra
Tumenggung Wilatikta, Adipati Tuban. Nama Kalijaga disandang Raden Said usai
menjalani tapa brata dan berguru kepada Sunan Bonang.
Semasa muda Sunan Kalijaga dijuluki Berandal Lokajaya. Julukan ini disebabkan kemasyhuran (loka) Raden Said berkat aksi perampokannya yang selalu berhasil, serta belum ada yang mampu mengalahkannya (jaya). Tetapi, hasil rampokan Berandal Lokajaya dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Dalam berbagai manuskrip Jawa, Sunan Kalijaga juga kerap dijuluki Pangeran Tuban, Raden Abdurrahman, dan Syekh Malaya.
Penggantian nama atau pun penambahan nama juga kerap dilakukan usai seseorang menunaikan ibadah haji. Penggantian nama pada zaman dulu diurusi oleh para syekh pemandu haji. Seorang jamaah haji biasanya diberi atau meminta atas kemauannya sendiri. Ada juga seorang jamaah haji yang diberi atau meminta nama kepada sesepuh di kampung halaman sepulang haji. Hal ini sudah mentradisi di tanah air. Sebut saja Soeharto, Presiden kedua RI. Sepulang haji, Raja Arab kala itu, Fahd bin Abdul Aziz Al-Saud, memberikan nama tambahan ‘Mohammad’ di depannya. Selanjutnya nama Soeharto ditulis Haji Mohammad Soeharto.
Barangkali hingga saat ini di Desa Kajen tradisi tersebut masih ada. Saya pun masih menangi tradisi penggantian nama tersebut. Tetangga saya sendiri, di belakang rumah, mulanya bernama Karsiman. Di kemudian hari, usai menunaikan ibadah haji, namanya diganti menjadi Rohman.
Pakde Karsiman, sapaannya, dikenal sebagai sais kuda. Saat masih berusia SD dan kerap main sepak bola di samping kandang kudanya, sesekali saya mengintip Pakde Karsiman yang sedang menyiapkan pakan. Saya masih ingat, Pakde Karsiman selalu mengutamakan pakan yang segar, kebersihan kandang, dan tidak pernah telat memberi pakan. Kudanya pun selalu bersih dan bugar. Pakde Karsiman begitu mengasihi kudanya. Rasa kasih itu juga pernah kami rasakan ketika tendangan bola oleh seorang teman membentur dinding kandang. Bola terpental hingga masuk ke sebuah jogangan. Mendengar suara benturan bola, Dhe Karsiman lantas keluar kandang. Dengan sabar dan ramah Pakde Karsiman justru mengambilkan bola kami yang kecemplung jogangan. Kami kira Pakde Karsiman bakal keluar kandang dengan terkaget-kaget sambil memberi ‘wejangan’. Ternyata Pakde Karsiman mendukung kami bermain bola.
Sepulang ibadah haji pada tahun 2000-an, nama Karsiman lantas diganti menjadi Rohman. Nama baru ini, sebagaimana asma Dzat Allah Ar-Rahman yang berarti Maha Pengasih. Nama Rohman membawa harapan supaya yang bersangkutan semakin dikasihi. Selain alasan tersebut, nama baru yang dibuatkan acap kali juga disesuaikan dengan pembawaan karakter pribadi yang bersangkutan. Seperti karakter Pakde Karsiman yang gemar menebar kasih.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa sebuah nama atau julukan mempunyai maksud, harapan dan tujuan tertentu. Penggantian atau pun penambahan nama dan julukan juga dilatarbelakangi faktor tertentu. Hal tersebut juga terjadi dalam kisah riwayat Syekh Ahmad Mutamakkin dalam manuskrip-manuskrip yang merekam kisahnya.
Selain manuskrip, nama-nama julukan untuk Syekh Mutamakkin juga dijumpai dalam ingatan kolektif masyarakat Kajen. Syekh Ahmad Mutamakkin dikenal sebagai Mbah Surgi dan Mbah Sumohadiwiyojo. Masyarakat Kajen kerap mengaitkan julukan Mbah Surgi dengan akronim nggangsur-nggangsur neng maregi (sedikit demi sedikit tapi cukup).
Sapaan ini erat kaitannya dengan kondisi ekologis Kajen yang berupa permukiman padat penduduk. Namun, di Desa Kajen tidak ada sawah, seperti desa-desa sekitarnya. Meskipun demikian, sejak dulu setiap tahun ada masyarakat Desa Kajen yang mampu menunaikan ibadah haji atau umroh. Sehingga sapaan Mbah Surgi selalu dikaitkan dengan kondisi tersebut, yakni meskipun hidup di desa yang serba terbatas tanpa lahan persawahan untuk bertani, namun kebutuhan masyarakat Desa Kajen selalu terpenuhi. Bahkan mampu menunaikan ibadah haji.
Kisah tersebut sebagaimana yang kerap disampaikan dalam pengajian. Begitu juga yang secara turun-temurun dituturkan oleh Bapak-Ibu di rumah. Beberapa waktu lalu, sebelum kapundut, saya dan Ganu Yahya berkesempatan sowan ke rumah KH. Husein Jabbar. Mbah Kusen, sebagaimana kami biasa menyapa, adalah pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren An-Noor. Terkait julukan Mbah Surgi, Mbah Kusen pun menuturkan kisah serupa.
Penelusuran nama dan julukan Syekh Ahmad Mutamakkin kiranya penting dilakukan, khususnya dalam tradisi manuskrip kuno yang merekam kisahnya. Ikhtiar ini sebagai langkah untuk mengungkap latarbelakang dan tujuan dari nama maupun julukan yang disematkan kepada Syekh Ahmad Mutamakkin. Dengan begitu, identitas dan kedudukan Syekh Ahmad Mutamakkin, setidaknya yang terdokumentasikan dalam manuskrip kuno dapat diungkapkan.
Selain itu, ikhtiar ini juga untuk mengkonfirmasi secara kronologis julukan nama Syekh Ahmad Mutamakkin yang terekam dalam ingatan kolektif masyarakat Kajen. Konfirmasi ini penting dilakukan untuk mengetahui sejak kapan nama-nama julukan untuk Syekh Ahmad Mutamakkin disematkan, termasuk tafsir-tafsir baru yang muncul di kemudian hari.
[bersambung]
* Penulis adalah warga Desa Kajen