Turis mancanegara asal Australia saat berkunjung ke Desa Kajen, Margoyoso sebelum pandemi covid-19. Foto: Salam/Lingkar(dot)co
|
oleh Siswanto, M.A.*
Kajen adalah sebuah nama salah satu desa yang ada di Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati. Desa yang terletak di Kabupaten Pati bagian utara, yang berjarak kurang lebih 17 km dari Kota Pati, terkenal dengan julukan “desa santri”. Julukkan tersebut tidak lain karena banyaknya pesantren yang berdiri dan melahirkan stakeholder di masyarakat. Oleh karena itu, sudah tidak asing lagi apabila Kajen disebut sebagai desa santri. Sebutan tersebut terhitung kira-kira sejak tahun 1990-an sampai sekarang.
Selain itu, Desa Kajen memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat lokal maupun masyarakat non-lokal. Hal ini karena Kajen menyimpan local wisdom (kearifan lokal) yang saban diteliti tidak ada habisnya untuk dieksplorasi. Salah satu local wisdom yang mendapatkan daya tarik tersendiri oleh akademisi antara lain adalah adanya pesantren, sarean, dan budaya lokal di Kajen.
Oleh sebab itu, Kajen selalu memiliki daya tarik dan keunikan tersendiri untuk diteliti. Tak ayal, dari keunikan dan budaya yang ada di Kajen mengundang banyak kalangan yang penasaran dari Desa Santri tersebut. Salah satunya adalah penelitian desertai dari Pradjarta Dirdjosanjoto yang berjudul “Kiai Pesantren dan Kiai Langgar”. Disertasi tersebut menjelaskan bahwa para kiai pada umumnya memiliki sumber-sumber kewibawaan yang bermacam-macam. Sehingga di sini ditonjolkan peran kiai langgar, yang dalam banyak studi perannya tidak terlalu kelihatan. Kendati tunduk pada kiai pesantren, kiai langgarlah pada kenyataannya yang memiliki hubungan langsung dengan umat. Kiai langgar bisa menjadi perantara hubungan kiai pesantren dan umat.
Selain itu, dikemukakan pula, institusi-institusi budaya seperti haul, sebagai perjumpaan budaya antara kiai, santri, masyarakat, dan para alumni pondok pesantren. Maka, dari situlah kalau kita tinggal di Kajen. Pasti tidak lepas dengan hubungan kiai, pesantren, dan pesarean. Untuk lebih detailnya penulis akan mengeksplorasi atmosfer yang ada di Kajen, antara lain yaitu;
Pesantren
Pesantren pada dasarnya adalah sebuah sistem yang di dalamnya terdapat komunitas dengan ikatan-ikatan aturan tertentu. Ikatan-ikatan tersebut sifatnya bisa berbentuk kelembagaan (institusi), kehidupan (pergaulan hidup), dan aturan-aturan yang mengikat di dalam lingkungan pesantren.
Pesantren sebagaimana mengacu pada definisi yang diberikan Zamakhsyari Dhofier, setidaknya terdiri dari lima elemen yang harus dipenuhi.
Pertama, adanya masjid. Masjid merupakan elemen yang tidak bisa dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik salat lima waktu, khotbah, salat berjamaah, dan pengajian kitab kuning. Sehingga kedudukan masjid di dalam lingkungan pesantren adalah sebagai pusat aktivitas pendidikan.
Kedua, pembelajaran kitab kuning. Pembelajaran kitab kuning pada masa lalu yang dimaksud adalah metode pembelajaran yang menekankan pada sistem sorogan dan bandongan. Misalnya mengkaji kitab-kitab ulama klasik seperti halnya karya dari Imam Syafi’i, Imam Ghazali dan ulama-ulma klasik lainnya. Tujuannya tidak lain adalah untuk mendidik para calon ulama yang kita kenal dengan sebutan kiai.
Ketiga, adanya santri. Menurut pengertian yang dipakai dalam lingkungan pesantren, orang alim baru dipanggil kiai kalau sudah memiliki pesantren lengkap dengan santri-santrinya, yang tinggal di sana untuk mempelajari kitab kuning. Dengan begitu santri merupakan salah satu elemen terpenting yang ada dalam sebuah lembaga pesantren.
Keempat, adanya kiai. Kiai merupakan figur yang sangat penting keberadaannya dalam lingkungan pesantren. Di mana adanya figur di dalam pesantren sangat menentukan maju tidaknya sebuah pesantren. Seorang kiai juga dikenal dengan luasnya khazanah keilmuan pengetahuan agama. Ia secara konsisten menjalankan ajaran-ajaran agama. Maka sudah sewajarnya kalau tumbuh dan kembangnya suatu pesantren diukur dari kebaradaan kiainya.
Kelima, adanya gedung atau bangunan asrama pondok pesantren. Keberadaan asrama atau pondok sangat penting untuk memberikan kenyamanan pada santri. Sehingga kiai, santri, dan kajian kitab kuning pada umumnya dilaksanakan di pondok. Oleh sebab itu, bangunan pondok merupakan sarana yang harus dimiliki dan dilengkapi guna menunjang aktivitas santri dalam belajar membaca kitab kuning dan Al-Qur’an.
Dengan demikian, diskursus tentang pesantren sejak lahir hingga sekarang selalu menarik untuk dikaji dari segala aspek, baik dari kehidupan sehari-harinya, potensi santri, pendidikannya, maupun sistem dan metodenya. Salah satu daya tarik pesantren adalah eksistensinya sebagai lembaga pendidikan yang khas Indonesia. Metode sorogan, bandongan, dan hafalan merupakan ciri khas yang hingga kini masih diterapkan di berbagai pesantren di Indonesia. Begitu juga pesantren di Kajen, di mana dalam kegiatan sehari-hari metode tersebut tidak lepas dari kehidupan para santri. Dan sampai sekarang populasi santri pondok pesantren yang ada di Kajen, saban tahunnya semakin bertambah. Inilah yang menunjukkan bahwa antusias orangtua untuk memondokkan anaknya sangat tinggi, terutama di Kajen.
Dari fakta di atas tentunya Kajen di hati masyarakat baik dari Pati maupun luar Pati, tentunya sangat mempercayakan kepada para kiai di Kajen untuk membimbing dan mengajar para putra-putri dari orang tua santri. Agar anaknya menjadi seorang yang alim dan mendapatkan berkah dari para kiainya. Begitulah Kajen selalu memberikan atmosfer pendidikan di lingkungan masyarakat.
Pesarean
Adanya pesarean waliyullah Mbah Ahmad Mutamakkin memberikan efek yang sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat Kajen. Karena, kalau kita amati saban harinya sarean Mbah Ahmad Mutamakkin selalu ramai dikunjungi para zairin dan zairot untuk melantunkan kalimat thayyibah. Baik pagi, siang, sore, dan bahkan sampai larut malam selalu penuh dengan pengunjung. Begitulah suasana di Desa Kajen.
Selain itu, banyak dari akademisi yang meneliti tentang sejarah Mbah Ahmad Mutamakkin. Baik mengkaji dari kitab peninggalan beliau maupun meneliti tentang metode dakwah Mbah Ahmad Mutamakkin.
Oleh sebab itu, kajian tentang manuskrip dan sejarah Mbah Ahmad Mutamakkin setiap kali diteliti selalu menarik dan memiliki nilai beda dari penelitian terdahulu. Dan ini membuktikan bahwa Kajen selalu memiliki daya tarik tersendiri oleh para peniliti. Sebutlah penelitian yang dilakukan oleh para peneliti, yaitu; Milal Bizawie dengan judul Syekh Mutamakkin; Perlawanan Kulturl Agama Rakyat, Soebardi Serat Cebolek, Ubaidillah Achmad Suluk Kiai Cebolek dan masih banyak penelitian lainnya baik skripsi, tesis, dan disertasi.
Demikianlah adanya sarean Mbah Ahmad Mutamakkin selain mendatangkan pertumbuhan ekonomi masyarakat juga menjadi daya tarik bagitrinti kalangan akademisi untuk melakukan penelitian serupa dengan tema yang beragam dan berbeda. Hal ini menunjukkan eksistensi Kajen di kancah perguruan tinggi selalu mendaptkan perhatian tersendiri.
Sosiologis-Antropologis
Dilihat dari sosiologis-antropologis, Kajen memiliki keunikan tersendiri. Penduduknya berjumlah 4.254 jiwa pada tahun 2014 dengan luas lahan 70 hektar, namun tidak memiliki lahan persawahan. Sehingga profesi yang ditekuni oleh mayoritas masyarakat Kajen adalah berdagang. Meskipun melalui dagang, masyarakat Kajen tetap survival dan bahkan mendapatkan income yang lebih. Hal ini kalau kita lihat, tidak lepas dari adanya pesantren dan sarean di Kajen yang setiap harinya dipenuhi oleh santri dan pengunjung. Sehingga dari situ, penghasilan warga Kajen didapat dari aktivitas perdagangan, maupun dari warung-warung kecil yang memenuhi kebutuhan para santri dan pengunjung.
Dengan demikian, dari situlah secara sosiologis ada interaksi sosial antarsantri maupun pengunjung yang setiap harinya ziarah ke makam Mbah Ahmad Mutamakkin. Hal ini menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat Kajen.
Sedangkan dilihat secara antropologis, Kajen memiliki culture yang memikat hati para antropolog. Di mana adanya masjid peninggalan Mbah Ahmad Mutammakin yang letaknya tidak jauh dari tempat sarean. Desain masjid yang unik dan disertai dengan ornamen yang penuh dengan makna filosofis, mengundang banyak pemerhati untuk ditelisik lebih jauh.
Selain itu, ada juga kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan yang dilakukan oleh pengurus takmir masjid. Di masa normal sebelum pandemi, tentu mengundang para jamaah untuk ngangsu kaweruh kepada masyayikh Kajen yang biasanya dilakukan saban malam Selasa. Pengajian tersebut tidak hanya diikuti oleh warga lokal, melainkan warga luar Kajen yang turut berbondong-bondong ikut ngaji dengan khusyuk dan khidmah.
Dengan demikian, secara sosiologis-antropologis Kajen memiliki kebudayaan tersendiri. Khususnya bagi para pemerhati dan peneliti untuk mengekspresikan sebuah temuan dan ragam keunikan terhadap ‘Desa Santri’ tersebut. Kalau boleh penulis memaknai, dengan adanya interaksi sosial yang massif dan kebudayaan yang tidak ada habisnya untuk dieksplorasi, maka Desa Kajen selain disebut sebagai ‘Desa Santri’ juga bisa disebut sebagai ‘Malioboronya’ Pati.[]
*Penulis adalah santri Kajen, dosen IAIN Salatiga
0 Viewers