Menyusuri Jalan Peradaban; Sebuah Refleksi

Kamis, 29 Juli 2021

Ilustrasi Photo ©2021 Kanjengan.id


__

Oleh: M. Farid Abbad


Oleh: Muhammad Farid Abbad

Suasana pada malam itu berbeda seperti malam-malam yang lain, biasanya saya hanya melakukan aktifitas yang bersifat rutin sehari-hari yaitu mengajar, atau membaca buku sekedarnya. Namun, malam itu menjadi malam istimewa karena kedatangan tamu agung dari ujung barat Indonesia. Seperti biasa sambil menunggu kedatangan sang tamu saya dan teman-teman ngobrol ngalor ngidul tentang sejarah, filologi, teks, diskursus, bahkan dengan seidkit bercanda menyinggung tentang dukun akademik.

Celetukan itu bukan hanya celetukan biasa karena ada satu disiplin penting yang sedang di resapi dan didalami tentang dunia simbol dan huruf, jadi dunia huruf yang penuh dengan keasyikan dan selalu mengandung misteri dalam proses mempelajarinya. Selain itu, diskusi tentang huruf memang tidak lazim dan tidak banyak dibicarakan oleh khalayak umum, bahkan sebagaian mungkin menganggap itu sebagai klenik, abstrak, dan menghayal. Tetapi saya bisa menjamin siapapun yang mau belajar mendalami kajian huruf secara ilmiah dan serius maka akan menemukan alternatif prespektif yang menarik dan anti-mainstream. Maksudnya, memahami konstruksi apapun dengan pendekatan ilmu huruf ternyata memberikan nuansa yang lebih dalam lagi luas.

Sayang tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh tentang huruf dengan segala wujud, pengaruh, makna, atau referensinya, tetapi tulisan ini akan mengurai sedikit tentang ilmu baru tentang membangun batu-bata peradaban. Inspirasi ini muncul setelah sang guru menyampaikan empat pilar dalam membangun Peradaban Al- Amien. Barangkali, selama ini kalau kita berbiacara tentang peradaban akan dianggap mlepukndakik-ndakik, utopis, dan terlalu tinggi untuk ukuran kapasitas kita sebagai manusia biasa yang hidup di desa, dengan kehidupan sederhana, dan jauh dari pusat kekuasaan.

Padahal, kalau kita mau menerawang makna peradaban sebenarnya adalah sesuatu yang biasa saja, tidak wah, karena peradaban menurut saya adalah sebuah fase yang ingin kita gapai dengan maksimal, sebuah momen ideal yang ingin kita wujudkan dengan segenap kemampuan dan kesempatan yang kita miliki saat ini. Oleh karenanya, kehidupan yang baik dan beradab adalah sebuah cerminan peradaban yang kita upayakan terus menerus. Setidaknya ada empat hal yang bisa kita renungkan untuk membangun peradaban itu.

Pertama, Noto Jiwo, Menata Jiwa ini adalah prasyarat yang tidak bisa kita tinggalkan. Karena pusat pengendali kehidupan kita sebenarnya adalah diri kita sendiri, jiwa dalam konteks ini maknanya adalah keseluruhan ‘diri’ kita. Masyarakat yang hidup dalam diri kita yang semuanya harus terus di manage, dikelola dengan baik dan benar. Selalu di selaraskan dan di latih untuk selalu berkecenderungan baik. Dengan demikian kunci untuk menapaki jalan selanjutnya adalah jiwa harus tertata dulu. Karena jiwa merupakan cermin dari hidup kita. Dia akan memantulkan kondisinya dalam kasunyatan hidup sehari-hari. Karenanya, dalam tradisi Islam kita mengenal hadis yang sangat populer “ siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya”. Pengenalan diri yang terus menerus akan membuat kita lebih mudah mengenali jiwa kita, jiwa ragawi maupun jiwa rohani.

Kedua, Noto Bondo, Menata Materi. Tahap kedua ini saya kira lebih mudah tetapi juga tidak mudah-mudah amat. Maksudnya, membangun ekonomi tentu tidak semua orang memiliki kecakapan di bidang ini, apalagi bagi orang-orang tertentu yang tidak memilki wadag potensi ekonomi, sehingga jatah yang bisa didapatkanpun terkadang hanya cukup untuk survive, bertahan saja. Apalagi kemudian harus mapan dulu lalu baru bisa melakukan pergerakan dan  pemberdayaan kepada masyarakat yang luas. Saya lebih memahami noto bondo dalam konteks ini adalah setelah kita merasa cukup secara ekonomi, segala kebutuhan keluarga tidak ada yang kurang di semua lini, maka langkah berikutnya adalah bagaimana kita mampu berkolaborasi dengan berbagai pihak.

Saya meyakini bahwa setiap manusia memilki nurani untuk memberikan kemanfaatan pada yang lain. Di dalam diri setiap manusia terkandung jiwa altruis. Ia akan menemukan kepuasan batin yang dalam ketika mampu bermanfaat untuk yang lain. Nah, disinilah kesempatan kita untuk membangun jejaring dengan pihak-pihak yang mapan secara ekonomi. Mereka pasti akan sangat senang jika harta yang selama ini dikelola mampu dikembangkan dan memiliki dampak besar bagi kemanusiaan.

Ketiga, Noto Projo, Menata Institusi. Tahapan ketiga ini adalah bagaimana kita berkomunitas. Atau jika belum ada komunitas yang memilki visi yang sama dengan kita, lantas kita bisa menjadi kreator untuk menciptakan sebuah komunitas sebagai media perjuangan kita. Para penggerak perubahan dalam lintasan sejarah memilki visi ini. Ia selalu tergerak untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan dengan mengambil satu atau beberapa bagian yang dibutuhkan untuk pengembangan kehidupan manusia. Ada yang mengambil sektor pengembangan Ekonomi, Pendidikan, Politik, Agama, Kebudayaan, dan sebagainya. Karenanya, institusi semacam ini perlu selalu di rawat dengan niat yang tulus dan sebagai medan perjuangan dalam mengisi kehidupan kita.

Semua institusi adalah baik selama visinya adalah kemanusiaan. Dan tentu dampak atau efek yang ditumbulkan dengan adanya visi ini tergantung kecerdasan dan semangat juang yang dimiliki oleh masing-masing kita. Apakah imajinasi kita mampu melampaui zaman ketika kita bergulat secara total dengan institusi yang kita kembangkan itu atau tidak, semuanya kembali kepada pribadi kita masing-masing. Karena hidup yang tidak memilki visi adalah hidup yang tidak layak untuk diperjuangkan.

Keempat, Noto Budoyo, Menata Kebudayaan. Setelah tiga tahapan itu kita lewati sebenarnya yang paling berat adalah bagaimana kita menjadikan sebuah gerakan yang kita inisiasi bisa menjadi budaya, culture dalam kehidupan masyarakat kita, bahkan sampai diwarisi oleh generasi dan anak cucu kita. Bagaimana agar kemudian kesadaran manusia terpantik untuk selalu peduli akan pengembangan perikehiudupan ini. Jadi, tidak hanya terbatas untuk co-survival saja. Namun, apa jejak kebaikan yang ingin kita bumikan sampai menjadi kebudayaan. Banyak contoh yang bisa kita ambil tentang pola ini. Sebut saja wali songo meskipun sudah berabad-abad yang lalu meninggalkan kita semua tapi jejak kebudayaan yang ditinggalkan masih terasa kuat nafasnya sampai saat ini. Slametan, wayangan, guyub rukun, mitoni, tahlil 7 hari, 40, 100 dst, semuanya adalah nafas kebudayaan yang kita cerap sebagai sebuah ritual yang terus menerus dirayakan.

Oleh karenanya, spirit dan sejarah membangun sebuah peradaban tidak bisa dilepaskan dari sejarah masa lalu, sejarah leluhur kita, sejarah orang-orang hebat yang jejaknya masih bisa kita nikmati hingga saat ini. Semua yang saya tulis di atas adalah refleksi agar kehidupan kita tidak kering dari nilai-nilai, perjuangan, berkhidmah, dan terus memberikan yang terbaik untuk semesta kehidupan ini.

                                               

                                                                                    Kajen, 4 November 2020

0 Viewers