Polarisasi dan Laku Moderat di Masa Pandemi Covid-19

Minggu, 25 Juli 2021

Ilustrasi Covid-19 Photo: (source:shutterstock/petovarga©2021 Kanjengan.id


__

Oleh: Muhammad Labib


Tulisan sederhana ini berangkat dari momentum Pandemi Covid 19 yang belum berkesudahan. Di antara pelbagai hikmah pelajaran yang terkandung di dalamnya, dalam kesempatan ini saya cenderung menyoroti gejala paradoks, dilema dan polarisasi sikap masyarakat. Didekati dengan peta psikologi sosial, perilaku manusia yang meng-ejawentah di dunia sosial dimulai dari pemahaman, kesimpulan, sikap, dan perilaku dalam hubungannya dengan fenomena sosial yang dialami. Hal ini menarik diungkap, tidak bertujuan untuk mengarani orang lain. Melainkan, untuk lebih dalam “menggrayangi” dan introspeksi diri sendiri.

Sejak awal mula kemunculannya di tahun 2019, fenomena pandemi ini telah memberikan dampak terhadap seluruh tatanan peradaban umat manusia. Istilah “new normal” dan “new world order” yang dulu dijadikan bahan bahasan ngopi dan jagongan oleh para generasi milenial akhir, secara mainstream merujuk pada konspirasi bumi datar, sekte illuminati, dan beberapa fiksi ilmiah yang utopis dan cenderung “guyonan”. Namun, kita tidak pernah membayangkan bahwa guyonan tersebut benar-benar mewujud secara konkrit, sekarang menjadi aturan cita mas jajar (cuci tangan, masker, dan jaga jarak) yang memicu respon beragam.

Ridwan Kamil, dalam sebuah paparannya di forum Mata Najwa beberapa waktu lalu, memetakan bahwa masyarakat dalam responnya terhadap Pandemi Covid 19, terbelah menjadi 3 (tiga) kubu : golongan denial (menolak covid dengan alasan subyektif), golongan menerima (sadar covid, tapi abai prokes), dan golongan beradaptasi (sadar covid dan beranjak menuju tatanan dunia baru). Polarisasi masyarakat tersebut, bisa dipicu oleh banyak hal, termasuk pengambilan informasi covid dari sumber tertentu apakah valid atau tidak. Oleh karena itu, Ia menghimbau supaya mengambil informasi seputar covid, hanya dari pemerintah atau para expert.

Saya sendiri menyaksikan bahwa terdapat sebagian orang yang secara psikis terlampau panik, menganggap covid 19 seperti “najis” dalam delusi santri yang mengidap penyakit psikis “was-was”. Ada pula yang acuh tak acuh dipicu oleh oposisi politik (cebong vs kampret) dalam memori pilpres 2018 kemarin. Ada acuh setengah panik dinisbatkan pada para pekerja serabutan yang apabila tidak kerja tidak makan. Namun, juga ada yang taat prokes, baik itu karena tuntutan profesi. Maupun, yang waspada atas kesadaran sendiri, dengan tetap slow dan enjoy di dalam batin.

Berbagai model sikap dan perilaku ini, dalam istilah akademis  “bukan merupakan suatu yang berangkat dari ruang kosong”. Ngalap manfaat dari peta psikologi sosial di atas, saya cenderung berargumen bahwa ketiga jenis perilaku sosial tersebut didahului oleh seperangkat penarikan pemahamann, kesimpulan, hingga diambil sikap dan perilaku yang sedemikian rupa.

Dalam sejarah umat manusia, perbedaan logika berfikir dan pemahaman merupakan sebuah fenomena yang selalu terjadi di manapun dan kapanpun. Bahkan sebagian ulama’ menyebutnya sebagai sunnatullah merujuk pada isyarat makna dalam QS. Al-Hujurat : 13, dan hadis perpecahan umat menjadi 73 golongan. Dalam teologi muncul paham Mu’tazilah, Jabariah, Qadariah, Asy’ariah, Syi’ah. Dalam fiqh muncul Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali. Dalam tasawuf muncul tasawuf amali, falsafi, dan seterusnya. Berbagai macam paham keagamaan ini, melahirkan berbagai macam sikap pula dalam merespon pandemi.

Memaknai polarisasi, paradoks dan dilema yang semakin dinamis dalam momentum pandemi ini. Saya cenderung berpendapat bahwa pandemi ini dapat menjadi layaknya “kaca benggala” yang bisa kita pakai untuk bercermin tidak hanya bagi jasad biologis kita. Melainkan, juga relung-relung terdalam diri kita, Mulai dari pola pikir dan pengelolaan emosi dalam menghadapi problem kehidupan -khususnya situasi pandemi-.

Peta psikologi sosial yang telah diurai sebelumnya, memiliki benang merah dengan gagasan Al-Ghazali dalam kitabnya Kimiya’ As-Sa’adah. Dari kedua konsep ini yang saling terintegrasi, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya pemahaman dan kesimpulan yang tepat, akan melahirkan sikap dan perilaku yang tepat. Sebalinya, apabila pemahaman dan kesimpulannya keliru. Maka, sikap dan perilakunya juga keliru.

Pertanyaan mendasar selanjutnya, bagaimana kita dapat merumuskan pemahaman dan kesimpulan yang tepat tersebut, yang pada gilirannya melahirkan sikap dan perilaku yang tepat ? Rasanya terlalu ambisius dan arogan apabila saya menjawab pertanyaan tersebut dengan prinsip kebenaran. Saya dalam konteks ini cenderung menyajikan tawaran hasil pemaknaan dan kontemplasi yang saya lakukan dan sifatnya yahtamilu ‘ala al-khata’ wa as-sawab (kemungkinan salah dan, atau benar).

Sebagai pijakan awal, saya teringat sebuah temuan penelitian klasik Al-Jabiri yang dalam bahasa film Terminator “old but not absolete” (tua tapi tidak usang). Dalam gagasanya “naqd al-‘aql al-‘arabi” ia mendedah sebuah temuan bahwa epistemologi (cara berfikir) masyarakat Arab (Islam) itu terbagi menjadi 3 jenis ; Bayani (teks sebagai sumber kebenaran, Burhani (logika dan analogi sebagai sumber kebenaran) dan ‘Irfani (singkapan dzauq spiritual sebagai sumber kebenaran). Dalam bahasa lain, dua jenis epistemologi pertama dikenal dengan ‘ilmu hushuli. Sedangkan, yang ketiga disebut ‘ilmu hudluri.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, serta globalisasi dan diaspora umat manusia, Al-Jabiri menegaskan bahwa Bayani dan ‘Irfani mengkristal menjadi “sulthoh an-nash” atau meminjam bahasa Michel Foucault menjadi “rezim pengetahuan” dalam sejarah epistemologi dan reproduksi ilmu di dalam Arab (Islam). Sementara itu, tradisi Burhani yang kemudian bertransformasi menjadi filsafat dan sains, cenderung lebih digeluti oleh sedulur urip di Barat. Pada gilirannya, ketiga jenis cara berpikir ini, melahirkan produk ilmu pengetahuan dengan coraknya masing-masing. Bayani melahirkan tafsir, fiqh, ushul fiqh, kadang teologi. ‘Irfani melahirkan tasawuf, sebagian teologi. Sedangkan, Burhani melahirkan natural science (matematika, kimia, fisika, biologi, kedokteran), sosial humaniora (filsafat, sosiologi, antropologi, psikologi).

Lalu apa hubungannya dengan polarisasi dan laku moderat di masa pandemi covid 19 ?  Saya cenderung melihat bahwa ketiga jenis model berpikir tersebut masing-masing memiliki “pemakainya” dalam konteks merespon pandemi. Pelaku bayani misalnya dipakai oleh golongan kyai dan santri yang memegang teguh fiqh sebagai manhaj al-fikr dan manhaj tsaqafah, dan sebagian masyarakat grassroot yang cenderung secara ekstrim memakai paham jabariyah dalam menerjemahkan “nerimo ing pandum”.

‘Irfani kemudian di-lakoni oleh segelintir pelaku sufistik yang memilih untuk bermain di belakang layar, tanpa ikut berperan secara aktif dalam ranah sosial. Golongan ini cenderung berperan lewat do’a, istighosah, wirid dan ritual-ritual keagamaan lain. Sementara para pelaku burhani adalah yang paling terlihat perannya secara dzahir, paling “upyek” melakukan analisis secara kritis, sistematis, logis baik itu dari golongan expert kedokteran, stakeholder pemerintah, maupun para peneliti sosial.

Mungkin pemaparan ini memang cenderung merupakan opini subyektif. Saya tidak menutup diri bahwa terdapat mix atau percampuran antar cara berpikir. Barangkali terdapat pelaku bayani sekaligus ‘Irfani, atau Bayani sekaligus burhani, dan seterusnya. Namun, pada tataran dzahir mereka pasti menampakkan sikap dalam kaitannya dengan otoritas dan kapasitas yang mereka miliki. Misal otoritas dan kapasitas dokter, berbeda dengan kyai. Politisi, berbeda dengan peneliti.

Terlepas dari itu semua, pada realitanya ketiga jenis model berpikir ini dapat kita pakai untuk “menggrayangi” diri kita sendiri dalam merespon pandemi. Model bayani murni membawa dampak pengambilan teks-teks fiqh, aqidah, akhlak yang dalam realitanya diambil setengah-setengah sehingga tak jarang memunculkan sikap kontra produktif. Model ‘Irfani murni cenderung terlalu “melangit” yang apabila tidak diterjemahkan dengan bantuan cara berfikir dan ilmu sosial-humaniora, cenderung menghasilkan sikap fatalis yang disimbolkan dengan wacana “semua insan pasti mati, maka ngapain takut covid ?”, Sedangkan model burhani murni akan berimbas pada logika sebab-akibat yang ketat. Sehingga kesimpulan yang timbul adalah “tidak taat prokes akan mati”

Saya menduga kuat bahwa pemakaian cara berpikir yang setengah-setengah dari ketiganya cenderung melahirkan sikap dan perilaku yang tidak proporsional. Pendahuluan di awal telah menguraikan bahwa pandemi ini menyerang seluruh dimensi peradaban. Maka, cara kita memaknai dan menyikapinya pun “ora keno ora” ditempuh dengan cara berpikir yang holistik, komprehensif, dan interdisipliner.

Sampai sini, saya teringat sebuah petuah seorang bijak bestari, “Jowo digowo, Arab digarap, Barat diruwat”. Bagi saya, pitutur ini merupakan pitutur yang singkat namun padat akan makna, serta menjadi “triangulasi akbar” model berpikir. Jowo menjadi simbol tentang model ‘Irfani mengingat Jawa atau Nusantara secara lebih luas sejak dahulu merupakan masyarakat yang sangat menjaga hubungan harmoni dengan alam, baik alam berarti ekosistem kehidupan, maupun alam dalam arti dunia spiritual. Arab dalam hal ini mewakili model berpikir bayani yang mewujud menjadi keilmuan Islam yang tuntas mulai dari tafsir, hadis, ushul fiqh, fiqh, teologi, tasawuf. Sedangkan Barat dalam hal ini mewakili epistemologi burhani berupa penelitian ilmiah dan model berpikir ala akademisi di bangku perkuliahan.

Dengan memakai secara proporsional ketiga model berpikir ini, saya meyakini bahwa selanjutnya akan melahirkan sikap dan perilaku yang moderat, relevan, tepat, dan pas, khususnya dalam menghadapi serangkaian problematika di masa pandemi. Dengan mengharmonikan ketiganya, dalam tataran aplikatif merespon pandemi, kita dapat mengejawentahkan perilaku taat protokol kesehatan beriringan dengan setiap aktivitas masing-masing dalam laku dzahir. Serta, menjaga ketertiban sosial, baik di media luring, maupun daring, Sementara, dalam laku batin, kita tetap tenang, damai, enjoy, menerima apapun yang akan terjadi. Atau justru menjadikan pandemi sebagai momentum peluang untuk semakin berinovasi dan berkreasi menuju kehidupan yang lebih progresif.

Laku berpikir yang interdisipliner ini, dalam hemat saya menjadi semacam core values atau prinsip dasar dalam membangun paradigma berpikir merespon problematika di masa pandemi. Sementara itu, dalam tathbiq-nya  baik itu kita gunakan untuk melakukan penelusuran kualitatif (berbasis kata) maupun kuantitatif (berbasis angka), sebagai pijakan menentukan mana sikap dan perilaku yang maslahah / mafsadah (baik/buruk), kita dapat memakai konsep maqasid shariah sebagai alat seleksi dan evaluasi.

Konsep ini meniscayakan bahwa dalam menilai mana yang baik dan buruk selain memakai dalil syariat, akal, dan penelitian lapangan, kita harus terlebih dahulu berimajinasi tentang alasan dan tujuan dibalik setiap aturan dan ketentuan yang ada. Sehingga, kita dapat menentukan sikap dan perilaku yang tepat sasaran, yang menguntungkan diri sendiri, semoga “pancer” tersulam dengan “karep” jagad ageng  dan “karep” Gusti, di masa sekarang dan mendatang.

Adapun sebagai gambaran umum, Al-Ghazali menawarkan daruriyat al-khams sebagai bahan imajinasi tersebut, berupa pertimbangan terhadap alasan dan tujuan di balik pelestarian agama, nyawa, akal, ras manusia, harta. Pelestarian terhadap semuanya tidak dipahami secara hierarkis ketat. Melainkan, dianggap saling berpengaruh dan saling terintegrasi sehingga tidak ada pertentangan antar elemen. 

Dengan pemakaian model berpikir yang telah diuraikan di atas, semoga polarisasi, paradoks, dan dilema di tengah pademi covid 19 ini dapat terkondisikan kembali menuju pemahaman, kesimpulan, sikap dan perilaku yang selaras nyawiji . Perbedaan tetap tidak dapat dibendung, dan harus ada untuk berjalannya lakon skenario drama semesta. Namun, pengambilan sikap dan perilaku yang tepat menjadi inti tugas manusia sebagai khalifah atau “talang atur” Pengeran yang bertugas menjadi pemimpin peradaban. Khususnya dalam momentum pandemi ini, seni kepemimpinan manusia diuji yang akan diganjar kemudian dengan ganjaran yang relevan.

Lalu apa hubungannya dengan polarisasi dan laku moderat di masa pandemi covid 19 ?  Saya cenderung melihat bahwa ketiga jenis model berpikir tersebut masing-masing memiliki “pemakainya” dalam konteks merespon pandemi. Pelaku bayani misalnya dipakai oleh golongan kyai dan santri yang memegang teguh fiqh sebagai manhaj al-fikr dan manhaj tsaqafah, dan sebagian masyarakat grassroot yang cenderung secara ekstrim memakai paham jabariyah dalam menerjemahkan “nerimo ing pandum”.

‘Irfani kemudian di-lakoni oleh segelintir pelaku sufistik yang memilih untuk bermain di belakang layar, tanpa ikut berperan secara aktif dalam ranah sosial. Golongan ini cenderung berperan lewat do’a, istighosah, wirid dan ritual-ritual keagamaan lain. Sementara para pelaku burhani adalah yang paling terlihat perannya secara dzahir, paling “upyek” melakukan analisis secara kritis, sistematis, logis baik itu dari golongan expert kedokteran, stakeholder pemerintah, maupun para peneliti sosial.

Mungkin pemaparan ini memang cenderung merupakan opini subyektif. Saya tidak menutup diri bahwa terdapat mix atau percampuran antar cara berpikir. Barangkali terdapat pelaku bayani sekaligus ‘Irfani, atau Bayani sekaligus burhani, dan seterusnya. Namun, pada tataran dzahir mereka pasti menampakkan sikap dalam kaitannya dengan otoritas dan kapasitas yang mereka miliki. Misal otoritas dan kapasitas dokter, berbeda dengan kyai. Politisi, berbeda dengan peneliti.

Terlepas dari itu semua, pada realitanya ketiga jenis model berpikir ini dapat kita pakai untuk “menggrayangi” diri kita sendiri dalam merespon pandemi. Model bayani murni membawa dampak pengambilan teks-teks fiqh, aqidah, akhlak yang dalam realitanya diambil setengah-setengah sehingga tak jarang memunculkan sikap kontra produktif. Model ‘Irfani murni cenderung terlalu “melangit” yang apabila tidak diterjemahkan dengan bantuan cara berfikir dan ilmu sosial-humaniora, cenderung menghasilkan sikap fatalis yang disimbolkan dengan wacana “semua insan pasti mati, maka ngapain takut covid ?”, Sedangkan model burhani murni akan berimbas pada logika sebab-akibat yang ketat. Sehingga kesimpulan yang timbul adalah “tidak taat prokes akan mati”

Saya menduga kuat bahwa pemakaian cara berpikir yang setengah-setengah dari ketiganya cenderung melahirkan sikap dan perilaku yang tidak proporsional. Pendahuluan di awal telah menguraikan bahwa pandemi ini menyerang seluruh dimensi peradaban. Maka, cara kita memaknai dan menyikapinya pun “ora keno ora” ditempuh dengan cara berpikir yang holistik, komprehensif, dan interdisipliner.

Sampai sini, saya teringat sebuah petuah seorang bijak bestari, “Jowo digowo, Arab digarap, Barat diruwat”. Bagi saya, pitutur ini merupakan pitutur yang singkat namun padat akan makna, serta menjadi “triangulasi akbar” model berpikir. Jowo menjadi simbol tentang model ‘Irfani mengingat Jawa atau Nusantara secara lebih luas sejak dahulu merupakan masyarakat yang sangat menjaga hubungan harmoni dengan alam, baik alam berarti ekosistem kehidupan, maupun alam dalam arti dunia spiritual. Arab dalam hal ini mewakili model berpikir bayani yang mewujud menjadi keilmuan Islam yang tuntas mulai dari tafsir, hadis, ushul fiqh, fiqh, teologi, tasawuf. Sedangkan Barat dalam hal ini mewakili epistemologi burhani berupa penelitian ilmiah dan model berpikir ala akademisi di bangku perkuliahan.

Dengan memakai secara proporsional ketiga model berpikir ini, saya meyakini bahwa selanjutnya akan melahirkan sikap dan perilaku yang moderat, relevan, tepat, dan pas, khususnya dalam menghadapi serangkaian problematika di masa pandemi. Dengan mengharmonikan ketiganya, dalam tataran aplikatif merespon pandemi, kita dapat mengejawentahkan perilaku taat protokol kesehatan beriringan dengan setiap aktivitas masing-masing dalam laku dzahir. Serta, menjaga ketertiban sosial, baik di media luring, maupun daring, Sementara, dalam laku batin, kita tetap tenang, damai, enjoy, menerima apapun yang akan terjadi. Atau justru menjadikan pandemi sebagai momentum peluang untuk semakin berinovasi dan berkreasi menuju kehidupan yang lebih progresif.

Laku berpikir yang interdisipliner ini, dalam hemat saya menjadi semacam core values atau prinsip dasar dalam membangun paradigma berpikir merespon problematika di masa pandemi. Sementara itu, dalam tathbiq-nya  baik itu kita gunakan untuk melakukan penelusuran kualitatif (berbasis kata) maupun kuantitatif (berbasis angka), sebagai pijakan menentukan mana sikap dan perilaku yang maslahah / mafsadah (baik/buruk), kita dapat memakai konsep maqasid shariah sebagai alat seleksi dan evaluasi.

Konsep ini meniscayakan bahwa dalam menilai mana yang baik dan buruk selain memakai dalil syariat, akal, dan penelitian lapangan, kita harus terlebih dahulu berimajinasi tentang alasan dan tujuan dibalik setiap aturan dan ketentuan yang ada. Sehingga, kita dapat menentukan sikap dan perilaku yang tepat sasaran, yang menguntungkan diri sendiri, semoga “pancer” tersulam dengan “karep” jagad ageng  dan “karep” Gusti, di masa sekarang dan mendatang.

Adapun sebagai gambaran umum, Al-Ghazali menawarkan daruriyat al-khams sebagai bahan imajinasi tersebut, berupa pertimbangan terhadap alasan dan tujuan di balik pelestarian agama, nyawa, akal, ras manusia, harta. Pelestarian terhadap semuanya tidak dipahami secara hierarkis ketat. Melainkan, dianggap saling berpengaruh dan saling terintegrasi sehingga tidak ada pertentangan antar elemen. 

Dengan pemakaian model berpikir yang telah diuraikan di atas, semoga polarisasi, paradoks, dan dilema di tengah pademi covid 19 ini dapat terkondisikan kembali menuju pemahaman, kesimpulan, sikap dan perilaku yang selaras nyawiji . Perbedaan tetap tidak dapat dibendung, dan harus ada untuk berjalannya lakon skenario drama semesta. Namun, pengambilan sikap dan perilaku yang tepat menjadi inti tugas manusia sebagai khalifah atau “talang atur” Pengeran yang bertugas menjadi pemimpin peradaban. Khususnya dalam momentum pandemi ini, seni kepemimpinan manusia diuji yang akan diganjar kemudian dengan ganjaran yang relevan.

 

0 Viewers