![]() |
Ilustrasi Covid-19 Photo: (source:shutterstock/petovarga) ©2021 Kanjengan.id |
__
Oleh: Muhammad Labib
Tulisan sederhana ini berangkat
dari momentum Pandemi Covid 19 yang belum berkesudahan. Di antara pelbagai
hikmah pelajaran yang terkandung di dalamnya, dalam kesempatan ini saya cenderung
menyoroti gejala paradoks, dilema dan polarisasi sikap masyarakat. Didekati
dengan peta psikologi sosial, perilaku manusia yang meng-ejawentah di dunia
sosial dimulai dari pemahaman, kesimpulan, sikap, dan perilaku dalam
hubungannya dengan fenomena sosial yang dialami. Hal ini menarik diungkap,
tidak bertujuan untuk mengarani orang lain. Melainkan, untuk lebih dalam
“menggrayangi” dan introspeksi diri sendiri.
Sejak awal mula kemunculannya di
tahun 2019, fenomena pandemi ini telah memberikan dampak terhadap seluruh
tatanan peradaban umat manusia. Istilah “new normal” dan “new world
order” yang dulu dijadikan bahan bahasan ngopi dan jagongan
oleh para generasi milenial akhir, secara mainstream merujuk pada konspirasi
bumi datar, sekte illuminati, dan beberapa fiksi ilmiah yang utopis dan
cenderung “guyonan”. Namun, kita tidak pernah membayangkan bahwa guyonan
tersebut benar-benar mewujud secara konkrit, sekarang menjadi aturan cita
mas jajar (cuci tangan, masker, dan jaga jarak) yang memicu respon beragam.
Ridwan Kamil, dalam sebuah
paparannya di forum Mata Najwa beberapa waktu lalu, memetakan bahwa masyarakat
dalam responnya terhadap Pandemi Covid 19, terbelah menjadi 3 (tiga) kubu : golongan
denial (menolak covid dengan alasan subyektif), golongan menerima
(sadar covid, tapi abai prokes), dan golongan beradaptasi (sadar covid
dan beranjak menuju tatanan dunia baru). Polarisasi masyarakat tersebut, bisa
dipicu oleh banyak hal, termasuk pengambilan informasi covid dari sumber
tertentu apakah valid atau tidak. Oleh karena itu, Ia menghimbau supaya
mengambil informasi seputar covid, hanya dari pemerintah atau para expert.
Saya sendiri menyaksikan bahwa
terdapat sebagian orang yang secara psikis terlampau panik, menganggap covid 19
seperti “najis” dalam delusi santri yang mengidap penyakit psikis “was-was”.
Ada pula yang acuh tak acuh dipicu oleh oposisi politik (cebong vs kampret)
dalam memori pilpres 2018 kemarin. Ada acuh setengah panik dinisbatkan pada
para pekerja serabutan yang apabila tidak kerja tidak makan. Namun, juga ada
yang taat prokes, baik itu karena tuntutan profesi. Maupun, yang waspada atas
kesadaran sendiri, dengan tetap slow dan enjoy di dalam batin.
Berbagai model sikap dan
perilaku ini, dalam istilah akademis
“bukan merupakan suatu yang berangkat dari ruang kosong”. Ngalap
manfaat dari peta psikologi sosial di atas, saya cenderung berargumen bahwa
ketiga jenis perilaku sosial tersebut didahului oleh seperangkat penarikan
pemahamann, kesimpulan, hingga diambil sikap dan perilaku yang sedemikian rupa.
Dalam sejarah umat manusia,
perbedaan logika berfikir dan pemahaman merupakan sebuah fenomena yang selalu
terjadi di manapun dan kapanpun. Bahkan sebagian ulama’ menyebutnya sebagai sunnatullah
merujuk pada isyarat makna dalam QS. Al-Hujurat : 13, dan hadis perpecahan umat
menjadi 73 golongan. Dalam teologi muncul paham Mu’tazilah, Jabariah, Qadariah,
Asy’ariah, Syi’ah. Dalam fiqh muncul Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali.
Dalam tasawuf muncul tasawuf amali, falsafi, dan seterusnya. Berbagai macam
paham keagamaan ini, melahirkan berbagai macam sikap pula dalam merespon
pandemi.
Memaknai polarisasi, paradoks
dan dilema yang semakin dinamis dalam momentum pandemi ini. Saya cenderung
berpendapat bahwa pandemi ini dapat menjadi layaknya “kaca benggala” yang bisa
kita pakai untuk bercermin tidak hanya bagi jasad biologis kita. Melainkan,
juga relung-relung terdalam diri kita, Mulai dari pola pikir dan pengelolaan
emosi dalam menghadapi problem kehidupan -khususnya situasi pandemi-.
Peta psikologi sosial yang telah diurai sebelumnya, memiliki benang merah dengan gagasan Al-Ghazali dalam kitabnya Kimiya’ As-Sa’adah. Dari kedua konsep ini yang saling terintegrasi, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya pemahaman dan kesimpulan yang tepat, akan melahirkan sikap dan perilaku yang tepat. Sebalinya, apabila pemahaman dan kesimpulannya keliru. Maka, sikap dan perilakunya juga keliru.
Pertanyaan mendasar selanjutnya,
bagaimana kita dapat merumuskan pemahaman dan kesimpulan yang tepat tersebut,
yang pada gilirannya melahirkan sikap dan perilaku yang tepat ? Rasanya terlalu
ambisius dan arogan apabila saya menjawab pertanyaan tersebut dengan prinsip
kebenaran. Saya dalam konteks ini cenderung menyajikan tawaran hasil pemaknaan
dan kontemplasi yang saya lakukan dan sifatnya yahtamilu ‘ala al-khata’ wa
as-sawab (kemungkinan salah dan, atau benar).
Sebagai pijakan awal, saya teringat sebuah temuan penelitian klasik Al-Jabiri yang dalam bahasa film Terminator “old but not absolete” (tua tapi tidak usang). Dalam gagasanya “naqd al-‘aql al-‘arabi” ia mendedah sebuah temuan bahwa epistemologi (cara berfikir) masyarakat Arab (Islam) itu terbagi menjadi 3 jenis ; Bayani (teks sebagai sumber kebenaran, Burhani (logika dan analogi sebagai sumber kebenaran) dan ‘Irfani (singkapan dzauq spiritual sebagai sumber kebenaran). Dalam bahasa lain, dua jenis epistemologi pertama dikenal dengan ‘ilmu hushuli. Sedangkan, yang ketiga disebut ‘ilmu hudluri.
Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, serta globalisasi dan diaspora umat manusia, Al-Jabiri menegaskan
bahwa Bayani dan ‘Irfani mengkristal menjadi “sulthoh an-nash” atau
meminjam bahasa Michel Foucault menjadi “rezim pengetahuan” dalam sejarah
epistemologi dan reproduksi ilmu di dalam Arab (Islam). Sementara itu, tradisi
Burhani yang kemudian bertransformasi menjadi filsafat dan sains, cenderung
lebih digeluti oleh sedulur urip di Barat. Pada gilirannya, ketiga jenis
cara berpikir ini, melahirkan produk ilmu pengetahuan dengan coraknya
masing-masing. Bayani melahirkan tafsir, fiqh, ushul fiqh, kadang teologi.
‘Irfani melahirkan tasawuf, sebagian teologi. Sedangkan, Burhani melahirkan natural
science (matematika, kimia, fisika, biologi, kedokteran), sosial humaniora
(filsafat, sosiologi, antropologi, psikologi).
Lalu apa hubungannya dengan
polarisasi dan laku moderat di masa pandemi covid 19 ? Saya cenderung melihat bahwa ketiga jenis
model berpikir tersebut masing-masing memiliki “pemakainya” dalam konteks
merespon pandemi. Pelaku bayani misalnya dipakai oleh golongan kyai dan
santri yang memegang teguh fiqh sebagai manhaj al-fikr dan manhaj
tsaqafah, dan sebagian masyarakat grassroot yang cenderung secara
ekstrim memakai paham jabariyah dalam menerjemahkan “nerimo ing
pandum”.
‘Irfani kemudian di-lakoni
oleh segelintir pelaku sufistik yang memilih untuk bermain di belakang layar,
tanpa ikut berperan secara aktif dalam ranah sosial. Golongan ini cenderung
berperan lewat do’a, istighosah, wirid dan ritual-ritual
keagamaan lain. Sementara para pelaku burhani adalah yang paling terlihat
perannya secara dzahir, paling “upyek” melakukan analisis secara kritis,
sistematis, logis baik itu dari golongan expert kedokteran, stakeholder
pemerintah, maupun para peneliti sosial.
Mungkin pemaparan ini memang
cenderung merupakan opini subyektif. Saya tidak menutup diri bahwa terdapat mix
atau percampuran antar cara berpikir. Barangkali terdapat pelaku bayani
sekaligus ‘Irfani, atau Bayani sekaligus burhani, dan seterusnya. Namun, pada
tataran dzahir mereka pasti menampakkan sikap dalam kaitannya dengan otoritas
dan kapasitas yang mereka miliki. Misal otoritas dan kapasitas dokter, berbeda
dengan kyai. Politisi, berbeda dengan peneliti.
Terlepas dari itu semua, pada
realitanya ketiga jenis model berpikir ini dapat kita pakai untuk “menggrayangi”
diri kita sendiri dalam merespon pandemi. Model bayani murni membawa dampak
pengambilan teks-teks fiqh, aqidah, akhlak yang dalam realitanya diambil
setengah-setengah sehingga tak jarang memunculkan sikap kontra produktif. Model
‘Irfani murni cenderung terlalu “melangit” yang apabila tidak diterjemahkan
dengan bantuan cara berfikir dan ilmu sosial-humaniora, cenderung menghasilkan
sikap fatalis yang disimbolkan dengan wacana “semua insan pasti mati, maka
ngapain takut covid ?”, Sedangkan model burhani murni akan berimbas pada
logika sebab-akibat yang ketat. Sehingga kesimpulan yang timbul adalah “tidak
taat prokes akan mati”
Saya menduga kuat bahwa
pemakaian cara berpikir yang setengah-setengah dari ketiganya cenderung
melahirkan sikap dan perilaku yang tidak proporsional. Pendahuluan di awal
telah menguraikan bahwa pandemi ini menyerang seluruh dimensi peradaban. Maka,
cara kita memaknai dan menyikapinya pun “ora keno ora” ditempuh dengan
cara berpikir yang holistik, komprehensif, dan interdisipliner.
Sampai sini, saya teringat
sebuah petuah seorang bijak bestari, “Jowo digowo, Arab digarap, Barat
diruwat”. Bagi saya, pitutur ini merupakan pitutur yang singkat namun padat
akan makna, serta menjadi “triangulasi akbar” model berpikir. Jowo menjadi
simbol tentang model ‘Irfani mengingat Jawa atau Nusantara secara lebih luas
sejak dahulu merupakan masyarakat yang sangat menjaga hubungan harmoni dengan
alam, baik alam berarti ekosistem kehidupan, maupun alam dalam arti dunia
spiritual. Arab dalam hal ini mewakili model berpikir bayani yang mewujud
menjadi keilmuan Islam yang tuntas mulai dari tafsir, hadis, ushul fiqh, fiqh,
teologi, tasawuf. Sedangkan Barat dalam hal ini mewakili epistemologi burhani
berupa penelitian ilmiah dan model berpikir ala akademisi di bangku
perkuliahan.
Dengan memakai secara
proporsional ketiga model berpikir ini, saya meyakini bahwa selanjutnya akan
melahirkan sikap dan perilaku yang moderat, relevan, tepat, dan pas, khususnya
dalam menghadapi serangkaian problematika di masa pandemi. Dengan
mengharmonikan ketiganya, dalam tataran aplikatif merespon pandemi, kita dapat
mengejawentahkan perilaku taat protokol kesehatan beriringan dengan setiap
aktivitas masing-masing dalam laku dzahir. Serta, menjaga ketertiban sosial,
baik di media luring, maupun daring, Sementara, dalam laku batin, kita tetap
tenang, damai, enjoy, menerima apapun yang akan terjadi. Atau justru menjadikan
pandemi sebagai momentum peluang untuk semakin berinovasi dan berkreasi menuju
kehidupan yang lebih progresif.
Laku berpikir yang
interdisipliner ini, dalam hemat saya menjadi semacam core values atau
prinsip dasar dalam membangun paradigma berpikir merespon problematika di masa
pandemi. Sementara itu, dalam tathbiq-nya baik itu kita gunakan untuk melakukan
penelusuran kualitatif (berbasis kata) maupun kuantitatif (berbasis angka),
sebagai pijakan menentukan mana sikap dan perilaku yang maslahah / mafsadah
(baik/buruk), kita dapat memakai konsep maqasid shariah sebagai alat
seleksi dan evaluasi.
Konsep ini meniscayakan bahwa
dalam menilai mana yang baik dan buruk selain memakai dalil syariat, akal, dan
penelitian lapangan, kita harus terlebih dahulu berimajinasi tentang alasan dan
tujuan dibalik setiap aturan dan ketentuan yang ada. Sehingga, kita dapat
menentukan sikap dan perilaku yang tepat sasaran, yang menguntungkan diri
sendiri, semoga “pancer” tersulam dengan “karep” jagad ageng dan “karep” Gusti, di masa sekarang
dan mendatang.
Adapun sebagai gambaran umum,
Al-Ghazali menawarkan daruriyat al-khams sebagai bahan imajinasi
tersebut, berupa pertimbangan terhadap alasan dan tujuan di balik pelestarian
agama, nyawa, akal, ras manusia, harta. Pelestarian terhadap semuanya tidak
dipahami secara hierarkis ketat. Melainkan, dianggap saling berpengaruh dan
saling terintegrasi sehingga tidak ada pertentangan antar elemen.
Dengan pemakaian model berpikir yang telah diuraikan di atas, semoga polarisasi, paradoks, dan dilema di tengah pademi covid 19 ini dapat terkondisikan kembali menuju pemahaman, kesimpulan, sikap dan perilaku yang selaras nyawiji . Perbedaan tetap tidak dapat dibendung, dan harus ada untuk berjalannya lakon skenario drama semesta. Namun, pengambilan sikap dan perilaku yang tepat menjadi inti tugas manusia sebagai khalifah atau “talang atur” Pengeran yang bertugas menjadi pemimpin peradaban. Khususnya dalam momentum pandemi ini, seni kepemimpinan manusia diuji yang akan diganjar kemudian dengan ganjaran yang relevan.
Lalu apa hubungannya dengan
polarisasi dan laku moderat di masa pandemi covid 19 ? Saya cenderung melihat bahwa ketiga jenis
model berpikir tersebut masing-masing memiliki “pemakainya” dalam konteks
merespon pandemi. Pelaku bayani misalnya dipakai oleh golongan kyai dan
santri yang memegang teguh fiqh sebagai manhaj al-fikr dan manhaj
tsaqafah, dan sebagian masyarakat grassroot yang cenderung secara
ekstrim memakai paham jabariyah dalam menerjemahkan “nerimo ing
pandum”.
‘Irfani kemudian di-lakoni
oleh segelintir pelaku sufistik yang memilih untuk bermain di belakang layar,
tanpa ikut berperan secara aktif dalam ranah sosial. Golongan ini cenderung
berperan lewat do’a, istighosah, wirid dan ritual-ritual
keagamaan lain. Sementara para pelaku burhani adalah yang paling terlihat
perannya secara dzahir, paling “upyek” melakukan analisis secara kritis,
sistematis, logis baik itu dari golongan expert kedokteran, stakeholder
pemerintah, maupun para peneliti sosial.
Mungkin pemaparan ini memang
cenderung merupakan opini subyektif. Saya tidak menutup diri bahwa terdapat mix
atau percampuran antar cara berpikir. Barangkali terdapat pelaku bayani
sekaligus ‘Irfani, atau Bayani sekaligus burhani, dan seterusnya. Namun, pada
tataran dzahir mereka pasti menampakkan sikap dalam kaitannya dengan otoritas
dan kapasitas yang mereka miliki. Misal otoritas dan kapasitas dokter, berbeda
dengan kyai. Politisi, berbeda dengan peneliti.
Terlepas dari itu semua, pada
realitanya ketiga jenis model berpikir ini dapat kita pakai untuk “menggrayangi”
diri kita sendiri dalam merespon pandemi. Model bayani murni membawa dampak
pengambilan teks-teks fiqh, aqidah, akhlak yang dalam realitanya diambil
setengah-setengah sehingga tak jarang memunculkan sikap kontra produktif. Model
‘Irfani murni cenderung terlalu “melangit” yang apabila tidak diterjemahkan
dengan bantuan cara berfikir dan ilmu sosial-humaniora, cenderung menghasilkan
sikap fatalis yang disimbolkan dengan wacana “semua insan pasti mati, maka
ngapain takut covid ?”, Sedangkan model burhani murni akan berimbas pada
logika sebab-akibat yang ketat. Sehingga kesimpulan yang timbul adalah “tidak
taat prokes akan mati”
Saya menduga kuat bahwa
pemakaian cara berpikir yang setengah-setengah dari ketiganya cenderung
melahirkan sikap dan perilaku yang tidak proporsional. Pendahuluan di awal
telah menguraikan bahwa pandemi ini menyerang seluruh dimensi peradaban. Maka,
cara kita memaknai dan menyikapinya pun “ora keno ora” ditempuh dengan
cara berpikir yang holistik, komprehensif, dan interdisipliner.
Sampai sini, saya teringat
sebuah petuah seorang bijak bestari, “Jowo digowo, Arab digarap, Barat
diruwat”. Bagi saya, pitutur ini merupakan pitutur yang singkat namun padat
akan makna, serta menjadi “triangulasi akbar” model berpikir. Jowo menjadi
simbol tentang model ‘Irfani mengingat Jawa atau Nusantara secara lebih luas
sejak dahulu merupakan masyarakat yang sangat menjaga hubungan harmoni dengan
alam, baik alam berarti ekosistem kehidupan, maupun alam dalam arti dunia
spiritual. Arab dalam hal ini mewakili model berpikir bayani yang mewujud
menjadi keilmuan Islam yang tuntas mulai dari tafsir, hadis, ushul fiqh, fiqh,
teologi, tasawuf. Sedangkan Barat dalam hal ini mewakili epistemologi burhani
berupa penelitian ilmiah dan model berpikir ala akademisi di bangku
perkuliahan.
Dengan memakai secara
proporsional ketiga model berpikir ini, saya meyakini bahwa selanjutnya akan
melahirkan sikap dan perilaku yang moderat, relevan, tepat, dan pas, khususnya
dalam menghadapi serangkaian problematika di masa pandemi. Dengan
mengharmonikan ketiganya, dalam tataran aplikatif merespon pandemi, kita dapat
mengejawentahkan perilaku taat protokol kesehatan beriringan dengan setiap
aktivitas masing-masing dalam laku dzahir. Serta, menjaga ketertiban sosial,
baik di media luring, maupun daring, Sementara, dalam laku batin, kita tetap
tenang, damai, enjoy, menerima apapun yang akan terjadi. Atau justru menjadikan
pandemi sebagai momentum peluang untuk semakin berinovasi dan berkreasi menuju
kehidupan yang lebih progresif.
Laku berpikir yang
interdisipliner ini, dalam hemat saya menjadi semacam core values atau
prinsip dasar dalam membangun paradigma berpikir merespon problematika di masa
pandemi. Sementara itu, dalam tathbiq-nya baik itu kita gunakan untuk melakukan
penelusuran kualitatif (berbasis kata) maupun kuantitatif (berbasis angka),
sebagai pijakan menentukan mana sikap dan perilaku yang maslahah / mafsadah
(baik/buruk), kita dapat memakai konsep maqasid shariah sebagai alat
seleksi dan evaluasi.
Konsep ini meniscayakan bahwa
dalam menilai mana yang baik dan buruk selain memakai dalil syariat, akal, dan
penelitian lapangan, kita harus terlebih dahulu berimajinasi tentang alasan dan
tujuan dibalik setiap aturan dan ketentuan yang ada. Sehingga, kita dapat
menentukan sikap dan perilaku yang tepat sasaran, yang menguntungkan diri
sendiri, semoga “pancer” tersulam dengan “karep” jagad ageng dan “karep” Gusti, di masa sekarang
dan mendatang.
Adapun sebagai gambaran umum,
Al-Ghazali menawarkan daruriyat al-khams sebagai bahan imajinasi
tersebut, berupa pertimbangan terhadap alasan dan tujuan di balik pelestarian
agama, nyawa, akal, ras manusia, harta. Pelestarian terhadap semuanya tidak
dipahami secara hierarkis ketat. Melainkan, dianggap saling berpengaruh dan
saling terintegrasi sehingga tidak ada pertentangan antar elemen.
Dengan pemakaian model berpikir
yang telah diuraikan di atas, semoga polarisasi, paradoks, dan dilema di tengah
pademi covid 19 ini dapat terkondisikan kembali menuju pemahaman, kesimpulan,
sikap dan perilaku yang selaras nyawiji . Perbedaan tetap tidak dapat
dibendung, dan harus ada untuk berjalannya lakon skenario drama semesta.
Namun, pengambilan sikap dan perilaku yang tepat menjadi inti tugas manusia
sebagai khalifah atau “talang atur” Pengeran yang bertugas
menjadi pemimpin peradaban. Khususnya dalam momentum pandemi ini, seni
kepemimpinan manusia diuji yang akan diganjar kemudian dengan ganjaran yang
relevan.