Rurouni Kenshin dan Makna Taubatan Nasuha

Rabu, 14 Juli 2021

Ilustrasi Photo: (www.kibrispdr.org©2021 Kanjengan.id

__

Oleh : Muhammad Labib

 

Memasuki tahun 2021, di samping masih mewabahnya Pandemi Covid 19 yang menyerang seluruh pelosok dunia, terdapat pula “geger geden” lain yang cenderung ditunggu-tunggu oleh  para kawula muda dan para wibu. Movie Live Action yang berjudul “Rurouni Kenshin : The Beginning”, yang dapat diakses secara online tanpa perlu hadir secara fisik di bioskop, terasa menjadi salah satu obat yang memicu zat dophamine di otak, untuk kembali merengkuh kesenangan dan semangat.

Cerita fiksi yang populer dengan nama panggung “Samurai X” ini merupakan salah satu kisah fiksi tema pahlawan karangan Nobuhiro Watsuki yang cukup menghibur, candu, dan memacu adrenalin saat menontonnya. Retorika, drama, alur kisah yang penuh dengan twist, adegan duel antara tokoh protagonis dan antagonis dengan jurus-jurus yang memanjakan daya imaji setiap penonton, campur aduk menjadi satu terasa sangat lezat “mak nyus” bagaikan hidangan Ndas Manyung, Es degan, Ikan gurame lengkap dengan sambal trasi dan lalapannya, yang disantap di siang hari.     

Sebelum tampil dalam bentuk live action. Samurai X mengawali debut popularitasnya dalam wujud komik manga.  Kemudian, ber-evolusi menjadi serial anime yang tayang pada kisaran tahun 90-an. Sebuah masterpiece yang mbrojol dari negeri Sakura ini, tak hanya menghidangkan adu kekuatan, skill dan seni mengayunkan pedang samurai. Namun, juga mengisyaratkan beberapa nilai kebaikan universal yang dapat dihayati, dimaknai, dan dilakoni.

Film tersebut menghadirkan karakter utama bernama Kenshin yang dulunya sempat berprofesi sebagai hittokiri (pembunuh bayaran) di masa Restorasi Meiji. Di masa itu, dia masyhur dengan laqob Hittokiri Battousai. Mendambakan Jepang menuju Era Baru yang damai tanpa adanya pembunuhan dan peperangan. Kenshin dengan aliran pedang Hiten Mitsurugi, rela memendam penderitaan batin, dengan mengesampingkan sisi kemanusiaannya untuk “tega” melakukan pembantaian. Ratusan tebasan, sayatan, hingga tusukan samurai telah ia lancarkan kepada tokoh-tokoh tertentu yang menghambat suksesi menuju era kedamaian.

Bahkan, nyawa istrinya sendiri Tomoe Yukishiro melayang di tangan Kenshin pada saat kecamuk pertarungannya melawan musuh. Di mana usut punya usut, Tomoe sengaja membenamkan dirinya untuk menerima tebasan pedang Kenshin karena dulu calon suaminya yang merupakan salah satu pemberontak politik, di bunuh oleh Kenshin. Di tengah kegundahan antara hasrat cinta dan balas dendam, Tomoe memutuskan untuk mengakhiri hidupnya di tangan Kenshin. Atas dua insiden ini, Kenshin mendapat luka berbentuk “tanda silang” di pipi bagian kiri wajahnya yang menjadi identitas khas. Namun, juga menjadi penanda adanya beban penyesalan yang mendalam dalam sanubarinya.

Pasca Jepang telah memasuki era kedamaian. Kenshin lalu memutuskan untuk menjadi rurouni (pengembara) dan berjanji untuk tidak akan pernah membunuh lagi. Pada momentum ini, ia memulai kisah pertaubatannya untuk selalu siap siaga membantu orang lain, menumpas kezaliman, kejahatan, dan tindak kriminal. Berbekal senjata sakabatou (pedang bermata terbalik) ia tetap dapat mengeluarkan jurus dan teknik pedang Hiten Mitsurugi-nya, tanpa membuat musuhnya terbunuh dalam pertarungan.     

   Bagi kita generasi milenial, karya fiksi Samurai X ini tidak sekedar menjadi tontonan dan hiburan. Ia dapat menjadi corpus yang terbuka untuk ditafsirkan. Pesan-pesan moral yang dikandungnya, dengan episteme berfikir tertentu, serta teknik penghayatan yang tepat dapat menghasilan hikmah yang berguna bagi perjalanan laku lampah kehidupan masing-masing kita. Dalam dunia akademik misalnya dikenal metode riset content analysis. Sedangkan, dalam doktrin normatif Islam, masyhur ungkapan : “Hikmah itu bagaikan barang hilang milik seorang mu’min. Apabila ia menemukannya. Maka, dia yang paling berhak atas barang tersebut.”

Berangkat dari premis ini, kisah pertaubatan Kenshin dalam cerita fiksi di atas, dapat dijadikan literasi yang eklektik, untuk menajamkan pemahaman kita terhadap penghayatan dan laku taubatan nasuha yang dalam konsep “Jannatul Qurbi” Imam Al-Ghazali di kitabnya “Minhaj Al-‘Abidin” menempati urutan tangga pertama (al-ma’asi bi at-taubah) untuk menuju kedekatan dengan Pengeran yang seperti Sorga.

Selain Al-Ghazali,  kitab Kifayatul Atqiya Wa Minhaj Al-Ashfiya karangan Sayyid Bakri Al-Makki bin Sayyid Muhammad Syatha Dimyati menawarkan konsep syurut dan arkan at-taubah (langkah-langkah taubat). Menurutnya, untuk mencapai keabsahan taubatan nasuha, seorang yang terlanjur tenggelam dalam kemaksiatan harus menempuh 4 langkah berupa ; (1) penyesalan atas perbuatannya, (2) berjanji tidak akan mengulangi, (3) menambali dosa dengan menghindarinya dan menambali dengan kebaikan yang relevan, dan (4) menuntaskan urusan  haqqul adami.

Barangkali keempat rukun taubat ini menjadi sebuah mainstream dan common sense dalam berbagai  kitab kuning yang dikaji di pesantren yang membincang disiplin ilmu akhlak tasawuf, khusunya dalam doktrin konsep khauf-raja’. Namun, di antara keempat rukun tersebut, “penyesalan” sebagai rukun taubat, merupakan poin yang menyimpan ruang kritik dan kemusykilan.

Dalam sebuah momentum sowan Kyai saya di Idhul Fitri 1442 H lalu, saya bersama para santri menerima wejangan dan motivasi untuk menghadapi gelombang tantangan kehidupan sehari-hari yang berliku-liku. Di antara berpuluh-puluh nasihat bijak yang beliau sampaikan. Terbesit satu nasihat yang menurut saya cukup revolusioner.

Beliau mewejang bahwa,”Tobat itu ndak harus dengan rasa penyesalan. Toh, qaul ulama’ yang menerangkan penyesalan sebagai salah satu rukun taubat itu ndak ada yang dibarengi dengan dalil-dalil yang kuat. Iya, mungkin dulu penyesalan itu dimasukkan supaya ada semacam kontrol dan bagian dari akhlak beliau-beliau. Tapi,  kalau penyesalan malah menghambat tercapainya tujuan dari tobat. Ya mending ndak usah ada penyesalan” tandas beliau.

Hari demi haru berlalu ,wejangan ini yang sudah terekam dalam catatan-catatan kecil masih hanya berupa sekedar ketikan huruf-huruf yang tesimpan di memory hape Xiaomi 6A punya saya. Singkat cerita, di tengah keseruan nonton movie Samurai X, ada sebuah scene di mana “roso” paham dari wejangan beliau tersingkap secara lebih nyata dan jelas. Dalam scene itu  nampak Kenshin yang tengah ziarah kubur di maqbarah Tomoe pasca menang duel melawan adik iparnya Enichi Yukishiro yang menyimpan dendam atas kematian kakanya, berretorika,”Ia (Enichi) juga harus menebus (kesalahan) nya. Bukan dengan kematiannya. Namun, dengan kehidupanya. Selama ia belum menyadarinya. Ia tidak akan melihat Tomoe tersenyum dalam benaknya. ”

Penghayatan Kenshin terhadap penyesalan atas dosa besar pembunuhan yang telah dilakukan, mengantarkannya pada suatu puncak perenungan di mana ia menyimpulkan bahwa cara untuk menebus dosa itu bukan dengan jalan kematian. Apalagi bunuh diri sebagaimana praktik Harakiri yang lazim dilakukan oleh para samurai. Namun, penebusan dosa justru ditempuh dengan jalur kehidupan. Si person (al-‘ashi) harus tetap menjaga kehidupannya dalam keadaan apapun, memiliki harapan dan semangat (raja’) menatap masa depan, memperbaiki kesalahan, meminta maaf kepada keluarga korban, dan menambali kesalahannya dengan kebaikan-kebaikan yang relevan.

Sinaran isyarat makna ini juga dapat kita temukan apabila kita mencoba menerapkan logika dalam konsep al-fikr al-maqasidi yang salah satu aplikasi-nya menurut Jasser Auda bisa masuk dalam disiplin akidah dan akhlak. Dalam parktiknya, selain kita harus membedakan mana praktik yang masuk kategori ghayah dan wasilah, mana yang daruri, hajji, dan tahsini, didasari pada triangulasi dalil naqli, aqli dan waqi’. Lebih substantif dari pada itu, logika kita mesti lebih dahulu untuk memikirkan tujuan (maqsad) apa yang hendak dicapai dalam laku taubat.

Menurutku, maqsad dari taubat yang cenderung lebih substantif tercerahkan dari wejangan sebelumnya, adalah untuk mencapai perubahan perilaku si pendosa dari al-’ashi menjadi al-muthi’, sehingga penjagaan dan pelestarian terhadap daruriyyat al-khams tercapai (agama, nyawa, akal, keturunan dan harta).

Dalam logika lama, “penyesalan”  dijadikan sebagai rukun taubat. Namun, apabila penyesalan justru memicu tindakan negatif berkepanjangan, pesimis, putus asa, bahkan hingga bunuh diri. Maka, rukun tersebut penting untuk ditinggalkan demi tercapainya tujuan taubatan nasuha yang substantif. Dalam logika ini, penyesalan dapat dikategorikan sebagai “wasilah” bukan “ghayah”, dia tahsini, bukan daruri, didukung dengan beberapa dalil universal seperti QS. Az-Zumar : 53, Al-A’raf : 156, dan Hadis Qudsi yang tertera dalam Arba’in Nawawi tentang ampunan Allah bagi anak Adam meskipun dosanya seluas langit dan bumi. 

Last but not least, untuk menemukan hikmah dan kebenaran yang sangat luas, seseorang tidak dianjurkan secara eksklusif membatasi diri pada satu model penalaran dan satu “rezim literasi”. Prinsip tauhid senantiasa mengajarkan untuk memandang segala sesuatu secara holistik dan komprehensif. Barangkali dianalogikan bagaikan memandang secara utuh dalam fenomena koin dengan dua wajah yang berbeda dan berseberangan. Dalam konteks tertentu, berbagai model penalaran dan rezim literasi yang berbeda-beda, dapat dipakai secara eklektik dan inter/multi disiplin yang ora keno ora tetap bijaksana dalam mewujudkan harmoni antara penelusuran dasar argumen (dalil), proses penalaran-penhayatan (qiyas), dan tujuan (hikmah/maqsad). Sehingga pada gilirannya dapat menarik maslahah yang selaras bagi jagad alit diri sendiri, orang terdekat, masyarakat luas dan semesta jagad ageng, yang juga tersulam dengan karep Gusti.

 

Wallahu Yaqulu Al-Haqqa Wa Huwa Yahdi As-Sabil, Wallahu A’lam Bissawab.


0 Viewers