__
Memasuki tahun 2021, di
samping masih mewabahnya Pandemi Covid 19 yang menyerang seluruh pelosok dunia,
terdapat pula “geger geden” lain yang cenderung ditunggu-tunggu oleh para kawula muda dan para wibu. Movie Live
Action yang berjudul “Rurouni Kenshin : The Beginning”, yang dapat diakses
secara online tanpa perlu hadir secara fisik di bioskop, terasa menjadi salah
satu obat yang memicu zat dophamine di otak, untuk kembali merengkuh kesenangan
dan semangat.
Cerita fiksi yang populer
dengan nama panggung “Samurai X” ini merupakan salah satu kisah fiksi tema pahlawan
karangan Nobuhiro Watsuki yang cukup menghibur, candu, dan memacu adrenalin
saat menontonnya. Retorika, drama, alur kisah yang penuh dengan twist,
adegan duel antara tokoh protagonis dan antagonis dengan jurus-jurus yang
memanjakan daya imaji setiap penonton, campur aduk menjadi satu terasa sangat
lezat “mak nyus” bagaikan hidangan Ndas Manyung, Es degan, Ikan gurame lengkap
dengan sambal trasi dan lalapannya, yang disantap di siang hari.
Sebelum tampil dalam bentuk
live action. Samurai X mengawali debut popularitasnya dalam wujud komik manga. Kemudian, ber-evolusi menjadi serial anime
yang tayang pada kisaran tahun 90-an. Sebuah masterpiece yang mbrojol
dari negeri Sakura ini, tak hanya menghidangkan adu kekuatan, skill dan seni
mengayunkan pedang samurai. Namun, juga mengisyaratkan beberapa nilai kebaikan
universal yang dapat dihayati, dimaknai, dan dilakoni.
Film tersebut menghadirkan
karakter utama bernama Kenshin yang dulunya sempat berprofesi sebagai hittokiri
(pembunuh bayaran) di masa Restorasi Meiji. Di masa itu, dia masyhur dengan
laqob Hittokiri Battousai. Mendambakan Jepang menuju Era Baru yang damai
tanpa adanya pembunuhan dan peperangan. Kenshin dengan aliran pedang Hiten Mitsurugi,
rela memendam penderitaan batin, dengan mengesampingkan sisi kemanusiaannya
untuk “tega” melakukan pembantaian. Ratusan tebasan, sayatan, hingga tusukan
samurai telah ia lancarkan kepada tokoh-tokoh tertentu yang menghambat suksesi
menuju era kedamaian.
Bahkan, nyawa istrinya
sendiri Tomoe Yukishiro melayang di tangan Kenshin pada saat kecamuk
pertarungannya melawan musuh. Di mana usut punya usut, Tomoe sengaja
membenamkan dirinya untuk menerima tebasan pedang Kenshin karena dulu calon
suaminya yang merupakan salah satu pemberontak politik, di bunuh oleh Kenshin.
Di tengah kegundahan antara hasrat cinta dan balas dendam, Tomoe memutuskan
untuk mengakhiri hidupnya di tangan Kenshin. Atas dua insiden ini, Kenshin
mendapat luka berbentuk “tanda silang” di pipi bagian kiri wajahnya yang
menjadi identitas khas. Namun, juga menjadi penanda adanya beban penyesalan
yang mendalam dalam sanubarinya.
Pasca Jepang telah memasuki
era kedamaian. Kenshin lalu memutuskan untuk menjadi rurouni
(pengembara) dan berjanji untuk tidak akan pernah membunuh lagi. Pada momentum
ini, ia memulai kisah pertaubatannya untuk selalu siap siaga membantu orang
lain, menumpas kezaliman, kejahatan, dan tindak kriminal. Berbekal senjata sakabatou
(pedang bermata terbalik) ia tetap dapat mengeluarkan jurus dan teknik pedang Hiten
Mitsurugi-nya, tanpa membuat musuhnya terbunuh dalam pertarungan.
Bagi
kita generasi milenial, karya fiksi Samurai X ini tidak sekedar menjadi
tontonan dan hiburan. Ia dapat menjadi corpus yang terbuka untuk
ditafsirkan. Pesan-pesan moral yang dikandungnya, dengan episteme berfikir
tertentu, serta teknik penghayatan yang tepat dapat menghasilan hikmah yang
berguna bagi perjalanan laku lampah kehidupan masing-masing kita. Dalam dunia
akademik misalnya dikenal metode riset content analysis. Sedangkan,
dalam doktrin normatif Islam, masyhur ungkapan : “Hikmah itu bagaikan barang hilang milik seorang
mu’min. Apabila ia menemukannya. Maka, dia yang paling berhak atas barang
tersebut.”
Berangkat dari premis ini, kisah pertaubatan
Kenshin dalam cerita fiksi di atas, dapat dijadikan literasi yang eklektik,
untuk menajamkan pemahaman kita terhadap penghayatan dan laku taubatan
nasuha yang dalam konsep “Jannatul Qurbi” Imam Al-Ghazali di
kitabnya “Minhaj Al-‘Abidin” menempati urutan tangga pertama (al-ma’asi
bi at-taubah) untuk menuju kedekatan dengan Pengeran yang seperti
Sorga.
Selain Al-Ghazali, kitab Kifayatul Atqiya Wa Minhaj
Al-Ashfiya karangan Sayyid Bakri Al-Makki bin Sayyid Muhammad Syatha
Dimyati menawarkan konsep syurut dan arkan at-taubah (langkah-langkah
taubat). Menurutnya, untuk mencapai keabsahan taubatan nasuha, seorang
yang terlanjur tenggelam dalam kemaksiatan harus menempuh 4 langkah berupa ; (1)
penyesalan atas perbuatannya, (2) berjanji tidak akan mengulangi, (3) menambali
dosa dengan menghindarinya dan menambali dengan kebaikan yang relevan, dan (4) menuntaskan
urusan haqqul adami.
Barangkali keempat rukun taubat ini menjadi
sebuah mainstream dan common sense dalam berbagai kitab kuning yang dikaji di pesantren yang
membincang disiplin ilmu akhlak tasawuf, khusunya dalam doktrin konsep khauf-raja’.
Namun, di antara keempat rukun tersebut, “penyesalan” sebagai rukun taubat, merupakan
poin yang menyimpan ruang kritik dan kemusykilan.
Dalam sebuah momentum sowan Kyai saya di
Idhul Fitri 1442 H lalu, saya bersama para santri menerima wejangan dan
motivasi untuk menghadapi gelombang tantangan kehidupan sehari-hari yang
berliku-liku. Di antara berpuluh-puluh nasihat bijak yang beliau sampaikan.
Terbesit satu nasihat yang menurut saya cukup revolusioner.
Beliau mewejang bahwa,”Tobat itu ndak
harus dengan rasa penyesalan. Toh, qaul ulama’ yang menerangkan penyesalan
sebagai salah satu rukun taubat itu ndak ada yang dibarengi dengan dalil-dalil
yang kuat. Iya, mungkin dulu penyesalan itu dimasukkan supaya ada semacam
kontrol dan bagian dari akhlak beliau-beliau. Tapi, kalau penyesalan malah menghambat tercapainya tujuan
dari tobat. Ya mending ndak usah ada penyesalan” tandas beliau.
Hari demi haru berlalu ,wejangan ini yang
sudah terekam dalam catatan-catatan kecil masih hanya berupa sekedar ketikan
huruf-huruf yang tesimpan di memory hape Xiaomi 6A punya saya. Singkat cerita,
di tengah keseruan nonton movie Samurai X, ada sebuah scene di mana
“roso” paham dari wejangan beliau tersingkap secara lebih nyata dan jelas. Dalam
scene itu nampak Kenshin yang tengah
ziarah kubur di maqbarah Tomoe pasca menang duel melawan adik iparnya Enichi
Yukishiro yang menyimpan dendam atas kematian kakanya, berretorika,”Ia
(Enichi) juga harus menebus (kesalahan) nya. Bukan dengan kematiannya. Namun,
dengan kehidupanya. Selama ia belum menyadarinya. Ia tidak akan melihat Tomoe
tersenyum dalam benaknya. ”
Penghayatan Kenshin terhadap penyesalan atas
dosa besar pembunuhan yang telah dilakukan, mengantarkannya pada suatu puncak
perenungan di mana ia menyimpulkan bahwa cara untuk menebus dosa itu bukan
dengan jalan kematian. Apalagi bunuh diri sebagaimana praktik Harakiri
yang lazim dilakukan oleh para samurai. Namun, penebusan dosa justru ditempuh
dengan jalur kehidupan. Si person (al-‘ashi) harus tetap menjaga
kehidupannya dalam keadaan apapun, memiliki harapan dan semangat (raja’)
menatap masa depan, memperbaiki kesalahan, meminta maaf kepada keluarga korban,
dan menambali kesalahannya dengan kebaikan-kebaikan yang relevan.
Sinaran isyarat makna ini juga dapat kita
temukan apabila kita mencoba menerapkan logika dalam konsep al-fikr
al-maqasidi yang salah satu aplikasi-nya menurut Jasser Auda bisa masuk
dalam disiplin akidah dan akhlak. Dalam parktiknya, selain kita harus
membedakan mana praktik yang masuk kategori ghayah dan wasilah,
mana yang daruri, hajji, dan tahsini, didasari pada triangulasi
dalil naqli, aqli dan waqi’. Lebih substantif dari pada itu,
logika kita mesti lebih dahulu untuk memikirkan tujuan (maqsad) apa yang
hendak dicapai dalam laku taubat.
Menurutku, maqsad dari taubat yang cenderung
lebih substantif tercerahkan dari wejangan sebelumnya, adalah untuk mencapai
perubahan perilaku si pendosa dari al-’ashi menjadi al-muthi’, sehingga
penjagaan dan pelestarian terhadap daruriyyat al-khams tercapai (agama,
nyawa, akal, keturunan dan harta).
Dalam logika lama, “penyesalan” dijadikan sebagai rukun taubat. Namun, apabila penyesalan justru memicu tindakan negatif berkepanjangan, pesimis, putus asa, bahkan hingga bunuh diri. Maka, rukun tersebut penting untuk ditinggalkan demi tercapainya tujuan taubatan nasuha yang substantif. Dalam logika ini, penyesalan dapat dikategorikan sebagai “wasilah” bukan “ghayah”, dia tahsini, bukan daruri, didukung dengan beberapa dalil universal seperti QS. Az-Zumar : 53, Al-A’raf : 156, dan Hadis Qudsi yang tertera dalam Arba’in Nawawi tentang ampunan Allah bagi anak Adam meskipun dosanya seluas langit dan bumi.
Last but not least, untuk menemukan hikmah dan kebenaran yang sangat luas, seseorang tidak dianjurkan secara eksklusif membatasi diri pada satu model penalaran dan satu “rezim literasi”. Prinsip tauhid senantiasa mengajarkan untuk memandang segala sesuatu secara holistik dan komprehensif. Barangkali dianalogikan bagaikan memandang secara utuh dalam fenomena koin dengan dua wajah yang berbeda dan berseberangan. Dalam konteks tertentu, berbagai model penalaran dan rezim literasi yang berbeda-beda, dapat dipakai secara eklektik dan inter/multi disiplin yang ora keno ora tetap bijaksana dalam mewujudkan harmoni antara penelusuran dasar argumen (dalil), proses penalaran-penhayatan (qiyas), dan tujuan (hikmah/maqsad). Sehingga pada gilirannya dapat menarik maslahah yang selaras bagi jagad alit diri sendiri, orang terdekat, masyarakat luas dan semesta jagad ageng, yang juga tersulam dengan karep Gusti.
Wallahu Yaqulu Al-Haqqa Wa Huwa Yahdi
As-Sabil, Wallahu A’lam Bissawab.