__
Oleh: M. Farid Abbad
Saya tidak ingin menulis panjang lebar
tentang apa itu pesantren, sejarahnya, fungsinya, dan struktur kelembagaannya.
Karena sudah banyak sekali buku, artikel jurnal, hasil riset, skripsi, tesis,
dan disertasi. Beberapa buku yang cukup mengesankan tentang Pesantren dan Kiai
yang pernah saya baca adalah sebuah disertasi di Australian National University
(ANU) anggitan Zamakhsyari Dhofier berjudul ‘ Tradisi Pesantren’. Buku ini
meskipun sudah menjadi klasik namun berhasil memberikan peta besar tentang
tradisi, corak, fungsi, dan jaringan antar Kiai yang sampai hari ini masih
menjadi salah satu referensi penting tentang pesantren.
Selanjutnya,
karya Dr. Horikho Horikhosi ‘ Kiai dan Perubahan Sosial’ juga memberikan
prespektif baru bahwa Kiai yang selama ini dianggap sebagai ‘Cultural Broker’
atau makelar budaya yang memfilter masuknya beragam kebudayaan dari luar yang
mengancam eksistensi kebudayaan pesantren. Istilah ini dipopulerkan oleh Antropolog
Amerika Cliford Greetz dalam artikelnya ‘ The Javanese Kijaji: The Changing
Role of a Cultural Broker. Tetapi fakta yang ditemukan oleh Horiko berbeda di
wilayah jawa barat, peran Kiai tidak hanya memfilter namun juga melakukan
gerakan transformasi sosial terhadap masyarakat sekitar pesantren.
Karya
lain yang menurut saya menarik untuk dikemukakan adalah karya Dr. Pradjarta
Dirdjosanjoto ‘ Memelihara Umat; Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa’ mencoba
menelisik lebih jauh tentang kehidupan sehari-hari Kiai pesantren yang memiliki
jaringan nasional, punya power, dan sangat disegani oleh komunitas masyarakat.
Sementara ada tipologi lain yaitu Kiai Langgar yang mencoba mempertahankan
pengaruhnya dan menjaga tradisi yang dibangun dengan otordoksi keagamaan yang
ketat. Senutuhan etnografis dalam karya ini sangat kental sebab buku ini adalah
disertasi yang di tulis di Universitas Utrech Belanda.
Mungkin,
masih banyak buku lain yang relevan saya sebutkan disini tapi tiga buku di atas
merupakan buku yang sudah mewakili semua pembahasan tentang pesantren. Saya
ingin sedikit menyinggung posisi pesantren di tengah pandemic ini. Momentum ini
menurut saya mampu untuk meningkatkan fungsi pesantren yang selama ini menjadi
lembaga keagamaan an sich, menjadi lembaga pemberdayaan masyarakat. Apalagi
kritik yang sering dialamatkan kepada pesantren selalu dihubungkan seperti
kerajaan kecil, eksklusif, hirarkis, dan cenderung tidak memiliki fungsi
sosial. Padahal potensi pesantren sangat besar sekali dalam melakukan
pemberdayaan masyarakat.
***
Selama ini keberadaan pesantren hanya memberikan
pencerahan dalam bidang agama saja, padahal wacana pesantren sebagai lembaga
pemberdayaan masyarakat sudah ramai di bicarakan sejak tahun 80-an. Sayang model gerakan ini sudah mulai jarang
diminati oleh pesantren. Sehingga saya agak kesulitan mencari role model
pesantren yang mengambil jalan ini.
Pandemi ini sebenarnya membuka kran
dan kesempatan bagi pesantren untuk memikirkan langkahnya untuk hadir menjadi
bagian dari problem soulver. Jika kategorinya pesantren besar yang memiliki
aset yang banyak maka ini menjadi peluang
bagi masyarkat untuk mendapatkan akses pekerjaan. Sementara jika
pesantrenya kecil dan tidak begitu memiliki sumber daya ekonomi yang besar maka
pesantren bisa memberikan sedikit uluran bantuan sembako secara rutin yang bisa
diambilkan dari syahriayah santri, atau memotong sedikit uang indekos santri
untuk di belanjakan lalu di distribusikan ke tetangga sekitar. Mesikipun
langkah ini tampak kecil, tetapi sesungguhnya akan memiliki dampak besar.
Karena modal sosial ini akan berevolusi menjadi hubungan yang lebih intim
dengan pesantren. Dan ini akan menjadi tradisi yang memperkuat posisi pesantren
di mata masyarakat. Wallahu a’lam.