Tradisi "Ngumbah Gaman", Tazkiyatun Nafs dan Psikologi Sosial

Selasa, 10 Agustus 2021

Ilustrasi © www.baritorayapost.com


__

Oleh: Muhammad Labib


Bagi sebagian masyarakat Jawa yang masih memegang erat budaya turun-temurun dari leluhurnya, istilah "ngumbah gaman" dalam momentum bulan (Suro) Muharram mungkin bukan merupakan sesuatu yang asing lagi. Keraton Yogyakarta misalnya, dengan ungkapan halus krama inggil, menyebut tradisi ini dengan istilah "Jamasan pusaka".

Dua istilah tersebut memiliki makna sama. Hanya saja, pengungkapannya berbeda berdasarkan adab dan tata krama."Ngumbah" merupakan kata kerja dalam Bahasa Jawa yang berarti "mencuci", dan "gaman" berarti "senjata" (kbbi.co.id). Maka, secara harfiah anggap saja makna istilah tersebut berarti "mencuci senjata".

Dalam realitanya, masyarakat Jawa yang memang identik dengan simbol supranatural dan spiritual, mempercayai bahwa bulan (Suro) Muharram - terutama malam pergantiannya – merupakan momentum keramat yang membawa "energi magis". Oleh karena itu, mereka memperingati momentum ini dengan simbolisasi pembersihan senjata khas yang umumnya berupa keris, benda pusaka, dan senjata tajam lainnya, dengan tujuan untuk menjaga kesaktiannya.

Antara Gaman dan Tubuh

Pertanyaan mendasar pertama yang berkaitan dengan fenomena tradisi Jawa ini adalah, apa sih sebetulnya makna gaman itu ? Untuk menjawabnya, terlepas dari benar atau salah, fenomena tradisi ritual "ngumbah gaman" bisa  dianggap sebagai teks dan corpus yang terbuka untuk ditafsirkan dan diambil fadilah-fadilah-nya yang bisa diterapkan dalam laku kehidupan sehari-hari.

Makna harfiyah gaman dalam kamus kbbi.co.id adalah senjata yang bisa berfungsi sebagai alat berkelahi, membunuh, memotong, dan juga simbol kesaktian. Adapun senjata itu berkarakter netral. Artinya, ia merupakan alat, sedangkan fungsinya menjadi positif atau negatif, tergantung kepada pemakainya. Satu sisi, senjata bisa dipakai untuk memusnahkan. Sebaliknya, ia mampu menjadi sarana yang memberdayakan.

Pemaknaan yang semacam ini, biasa dinisbatkan kepada seperangkat benda tajam, baik itu keris, pedang, tombak, atau alat lain yang pada intinya merupakan entitas ekternal "yang lian" dari tubuh manusia. Namun, apabila dimaknai secara "radikal" (melihat akar maknanya), pada dasarnya -selain bermakna wadah-, menisbatkan makna senjata kepada tubuh memiliki relevansinya tersendiri.

Rasionalisasinya, misal makna senjata adalah alat untuk memukul. Sebagai bagian dari struktur anatomi tubuh, tangan dan kaki mampu melancarkan pukulan yang bisa memberikan efek mematikan. Ujaran lisan dalam "punch line" tertentu mampu memberikan efek psikis yang dapat mendorong seseorang melakukan bunuh diri. Kecanggihan nalar manusia yang berkolaborasi dengan lisan dan anggota tubuh lain, mampu menghasilkan argumentasi perdebatan yang membuat lawan bicara bungkam dan bertekuk lutut.

Sampai sini, dapat dirumuskan sebuah premis bahwa makna gaman atau senjata dalam pandangan yang lebih luas, bisa dinisbatkan kepada tubuh. Namun, fokus kita terhadap tubuh, tidak terbatas pada tubuh biologis berikut struktur anatominya mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Melainkan, keseluruhan unsur eksistensial manusia. Mengukuhi makna ini, semakin menegaskan argumen bahwa tubuh merupakan senjata manusia yang sesungguhnya, dengan kesaktian yang tak terbatas.

Berpijak pada definisinya, psikologi sosial memaknai manusia dalam wujud pikiran, perasaan, keinginan, dan tindakan dalam situasi sosial.[1] Sekelumit sufisme Al-Ghazali memiliki keyword al-insan yang meliputi jasad, nafs, dan ruh.[2] Sedangkan, Ronggowarsito merumuskan tujuh struktur eksistensi manusia mulai yang terluar hingga terdalam.[3] Terlepas dari semuanya, dapat disimpulkan secara global bahwa tubuh manusia terdiri dari unsur material (jasmani) dan immaterial (rohani).

Jamasan Pusaka dan Tazkiyatun Nafsi, Konteks (Suro) Muharram

Herminingrum & Majid (2016) dalam risetnya menyatakan bahwa ritual jamasan pusaka, - khususnya keris - yang menjadi tradisi sebagian masyarakat Jawa di bulan Muharram, berisikan ritual syukuran, prihatin, dan pembersihan. Pada intinya, ritual tersebut merupakan simbol makna harmonisasi antara memayu hayuning bawono, bebrayan dan pribadhi (menjaga keindahan dan keselarasn antara alam, interaksi sosial, dan tubuh individu).[4]

Bukan sekedar merupakan otak-atik matuk apabila mengbungkan temuan ini dengan konsep tazkiyatun nafsi ala pesantren. Dalam ajaran kitab kuning, khususnya yang ber-genre tasawuf, istilah ini bermakna metode pembersihan zahir batin diri manusia dari segala yang menodai fitrah dan fungsi penciptaannya. Tidak sekedar pembersihan jasad, metode ini cenderung lebih dominan mengarah kepada pembersihan batin-jiwa setiap individu. Wujud aplikatifnya berupa zikir, tafakkur, introspeksi diri, dan taubat.

Jauh berbeda dengan tradisi peringatan tahun baru masehi yang membawa gebyar ingar-bingar di seluruh pelosok dunia. Jamasan pusaka yang dihelat pada momentum pergantian bulan (Suro) Muharram, pada dasarnya bertepatan dengan peringatan masuknya tahun baru hijriyah. Tidak larut dalam terang, sinar, bahagia, tertawa. Karakter bulan yang merupakan pedoman kalender hijriyah mengejawentah dalam ritual jamasan tersebut, yang prihatin, teduh, kontemplatif.

Relasi antara jamasan pusaka dan tazkiyatun nafsi, dalam konteks tahun baru hijriyah mengerucut dalam 3 laku, yaitu syukur, berterimakasih atas kerjasama anggota tubuh, sosial dan alam, serta kepada Tuhan atas anugerah-Nya. Meminta maaf kepada semuanya atas kesalahan selama tahun yang lalu. Ketiga, mohon penjagaan, perlindungan di tahun mendatang. Semuanya, terkandung dalam simbol tradisi ingkungan, sesajenan, puasa, kirab-festival, mencuci senjata, hingga dalam tradisi pesantren berupa pembacaan do’a awal dan akhir tahun.  

Perspektif Psikologi Sosial

Dalam rangka memaknai perilaku manusia, Sheldon Stryker (1980) merumuskan teori identitas. Salah satu premis terkuat dalam teori ini adalah bahwa indvidu dan masyarakat adalah sama. Terjadi proses dan interaksi saling mempengaruhi antara keduanya, dan  membentuk struktur sosial. Stryker cenderung “men-tarjih” bahwa individu adalah subyek utama yang lebih dominan mempengaruhi dan memberikan harapan-harapan bagi struktur sosial.[5]

Mencoba sedikit menjaga jarak dengan nuansa sakral yang telah tersugesti. Ngumbah gaman, memakai konsep psikologi sosial di atas memancarkan isyarat makna bahwa tubuh yang merupakan gaman dengan kesaktian tak terbatas bagi manusia akan memberikan dampak bagi kehidupan masyarakat - minimal yang terdekat di sekitarnya - dengan ekspresi yang bercabang ; positif atau negatif. 

  Gaman yang tidak pernah di-”kumbah” (dibersihkan) berpotensi untuk berkarat, dan akhirnya tumpul, tidak lagi memiliki nilai artistik, hingga kesaktiannya alpa. Perilaku manusia, pada dasarnya merupakan wajah konkrit dari hasil olah rasa dan olah pikirnya. Oleh karena itu, tradisi ngumbah gaman dengan makna tazkiyatun nafs, berarti proses pembersihan zahir-batin yang pada gilirannya akan melahirkan perilaku yang tercerahkan dan turut membawa dampak positif bagi dirinya dan kehidupan sosial, minimal bagi komunitas terkecilnya, yaitu keluarga. So, selamat ngumbah gaman !  

__________________

[1] Suryanto,dkk, Pengantar Psikologi Sosial, Surabaya : Airlangga University Press, 2012, 4.

[2] Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Semarang : Maktabah Usaha Keluarga, Vol. 3, t th, 52.  

[3] Sri Wintala Achmad, Kitab Sakti Ajaran Ranggawarsita, Yogyakarta : Araska, 2014, 92.

[4] Sri Herminingrum & Gilang M. Majid, “Seizing Local Wisdom : Looking Closer Into Javanese Folklore Trough Jamasan Pusaka Ritual”, IJLEG, Vol. 2, No. 1, 2016, 40-48.

[5] Sheldon Stryker, dkk, Self, Identity, and Social Movements, London : University of Minnesota Press, 2000, 93.


0 Viewers