Ilustrasi © www.baritorayapost.com |
__
Oleh: Muhammad Labib
Bagi sebagian masyarakat Jawa yang masih memegang erat
budaya turun-temurun dari leluhurnya, istilah "ngumbah gaman"
dalam momentum bulan (Suro)
Muharram mungkin
bukan merupakan sesuatu yang asing lagi. Keraton Yogyakarta misalnya, dengan ungkapan halus
krama inggil, menyebut tradisi
ini dengan istilah "Jamasan pusaka".
Dua istilah tersebut memiliki makna sama. Hanya saja,
pengungkapannya berbeda berdasarkan adab dan tata krama."Ngumbah"
merupakan kata kerja dalam Bahasa Jawa yang berarti "mencuci", dan
"gaman" berarti "senjata" (kbbi.co.id). Maka, secara
harfiah anggap saja makna istilah tersebut berarti "mencuci senjata".
Dalam realitanya, masyarakat Jawa yang memang identik
dengan simbol supranatural dan
spiritual, mempercayai bahwa bulan (Suro)
Muharram - terutama malam
pergantiannya – merupakan
momentum keramat yang membawa "energi magis". Oleh karena itu, mereka memperingati
momentum ini dengan simbolisasi pembersihan senjata khas yang umumnya berupa
keris, benda pusaka, dan senjata tajam lainnya, dengan tujuan untuk menjaga
kesaktiannya.
Antara Gaman dan Tubuh
Pertanyaan
mendasar pertama yang berkaitan dengan fenomena tradisi Jawa ini adalah, apa
sih sebetulnya makna gaman itu ? Untuk menjawabnya, terlepas dari
benar atau salah, fenomena tradisi ritual "ngumbah gaman" bisa dianggap sebagai teks dan corpus yang
terbuka untuk ditafsirkan dan diambil fadilah-fadilah-nya yang bisa
diterapkan dalam laku kehidupan sehari-hari.
Makna harfiyah gaman dalam kamus kbbi.co.id adalah senjata
yang bisa berfungsi sebagai alat berkelahi, membunuh, memotong, dan juga simbol
kesaktian. Adapun senjata itu berkarakter netral. Artinya, ia merupakan alat,
sedangkan fungsinya menjadi positif atau negatif, tergantung kepada pemakainya.
Satu sisi, senjata bisa dipakai untuk memusnahkan. Sebaliknya, ia mampu menjadi
sarana yang memberdayakan.
Pemaknaan yang semacam ini, biasa dinisbatkan kepada
seperangkat benda tajam, baik itu keris, pedang, tombak, atau alat lain yang
pada intinya merupakan entitas ekternal "yang lian" dari tubuh
manusia. Namun, apabila dimaknai secara "radikal" (melihat akar
maknanya), pada dasarnya -selain bermakna
wadah-, menisbatkan
makna senjata kepada tubuh memiliki
relevansinya tersendiri.
Rasionalisasinya, misal makna senjata adalah alat untuk
memukul. Sebagai bagian dari struktur anatomi tubuh, tangan dan kaki mampu melancarkan
pukulan yang bisa memberikan efek mematikan. Ujaran lisan dalam "punch line" tertentu mampu memberikan
efek psikis yang dapat mendorong seseorang melakukan bunuh diri. Kecanggihan nalar manusia yang berkolaborasi dengan lisan dan
anggota tubuh lain, mampu
menghasilkan argumentasi perdebatan yang membuat lawan bicara bungkam dan
bertekuk lutut.
Sampai
sini, dapat dirumuskan sebuah premis bahwa makna gaman atau senjata
dalam pandangan yang lebih luas, bisa dinisbatkan kepada tubuh. Namun, fokus
kita terhadap tubuh, tidak terbatas pada tubuh biologis berikut struktur
anatominya mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Melainkan, keseluruhan
unsur eksistensial manusia. Mengukuhi makna ini, semakin menegaskan argumen
bahwa tubuh merupakan senjata manusia yang sesungguhnya, dengan kesaktian yang
tak terbatas.
Berpijak
pada definisinya, psikologi sosial memaknai manusia dalam wujud pikiran,
perasaan, keinginan, dan tindakan dalam situasi sosial.[1]
Sekelumit sufisme Al-Ghazali memiliki keyword al-insan yang meliputi
jasad, nafs, dan ruh.[2]
Sedangkan, Ronggowarsito merumuskan tujuh struktur eksistensi manusia mulai
yang terluar hingga terdalam.[3] Terlepas
dari semuanya, dapat disimpulkan secara global bahwa tubuh manusia terdiri dari
unsur material (jasmani) dan immaterial (rohani).
Jamasan
Pusaka dan Tazkiyatun
Nafsi, Konteks (Suro) Muharram
Herminingrum
& Majid (2016) dalam risetnya menyatakan bahwa ritual jamasan pusaka,
- khususnya keris - yang menjadi tradisi sebagian masyarakat Jawa di bulan
Muharram, berisikan ritual syukuran, prihatin, dan pembersihan. Pada intinya,
ritual tersebut merupakan simbol makna harmonisasi antara memayu hayuning
bawono, bebrayan dan pribadhi (menjaga keindahan dan keselarasn
antara alam, interaksi sosial, dan tubuh individu).[4]
Bukan
sekedar merupakan otak-atik matuk apabila mengbungkan temuan ini dengan
konsep tazkiyatun nafsi ala pesantren. Dalam ajaran kitab kuning,
khususnya yang ber-genre tasawuf, istilah ini bermakna metode
pembersihan zahir batin diri manusia dari segala yang menodai fitrah dan fungsi
penciptaannya. Tidak sekedar pembersihan jasad, metode ini cenderung lebih
dominan mengarah kepada pembersihan batin-jiwa setiap individu. Wujud
aplikatifnya berupa zikir, tafakkur, introspeksi diri, dan taubat.
Jauh
berbeda dengan tradisi peringatan tahun baru masehi yang membawa gebyar
ingar-bingar di seluruh pelosok dunia. Jamasan pusaka yang dihelat pada
momentum pergantian bulan (Suro) Muharram, pada dasarnya bertepatan dengan
peringatan masuknya tahun baru hijriyah. Tidak larut dalam terang, sinar,
bahagia, tertawa. Karakter bulan yang merupakan pedoman kalender hijriyah
mengejawentah dalam ritual jamasan tersebut, yang prihatin, teduh,
kontemplatif.
Relasi
antara jamasan pusaka dan tazkiyatun nafsi, dalam konteks tahun
baru hijriyah mengerucut dalam 3 laku, yaitu syukur, berterimakasih atas
kerjasama anggota tubuh, sosial dan alam, serta kepada Tuhan atas anugerah-Nya.
Meminta maaf kepada semuanya atas kesalahan selama tahun yang lalu. Ketiga,
mohon penjagaan, perlindungan di tahun mendatang. Semuanya, terkandung dalam
simbol tradisi ingkungan, sesajenan, puasa, kirab-festival,
mencuci senjata, hingga dalam tradisi pesantren berupa pembacaan do’a awal dan
akhir tahun.
Perspektif
Psikologi Sosial
Dalam
rangka memaknai perilaku manusia, Sheldon Stryker (1980) merumuskan teori
identitas. Salah satu premis terkuat dalam teori ini adalah bahwa indvidu dan
masyarakat adalah sama. Terjadi proses dan interaksi saling mempengaruhi antara
keduanya, dan membentuk struktur sosial.
Stryker cenderung “men-tarjih” bahwa individu adalah subyek utama yang
lebih dominan mempengaruhi dan memberikan harapan-harapan bagi struktur sosial.[5]
Mencoba
sedikit menjaga jarak dengan nuansa sakral yang telah tersugesti. Ngumbah
gaman, memakai konsep psikologi sosial di atas memancarkan isyarat makna
bahwa tubuh yang merupakan gaman dengan kesaktian tak terbatas bagi
manusia akan memberikan dampak bagi kehidupan masyarakat - minimal yang
terdekat di sekitarnya - dengan ekspresi yang bercabang ; positif atau
negatif.
Gaman yang tidak pernah di-”kumbah” (dibersihkan) berpotensi untuk berkarat, dan akhirnya tumpul, tidak lagi memiliki nilai artistik, hingga kesaktiannya alpa. Perilaku manusia, pada dasarnya merupakan wajah konkrit dari hasil olah rasa dan olah pikirnya. Oleh karena itu, tradisi ngumbah gaman dengan makna tazkiyatun nafs, berarti proses pembersihan zahir-batin yang pada gilirannya akan melahirkan perilaku yang tercerahkan dan turut membawa dampak positif bagi dirinya dan kehidupan sosial, minimal bagi komunitas terkecilnya, yaitu keluarga. So, selamat ngumbah gaman !
[1] Suryanto,dkk,
Pengantar Psikologi Sosial, Surabaya : Airlangga University Press, 2012,
4.
[2] Abu Hamid Muhammad
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Semarang : Maktabah Usaha Keluarga, Vol. 3,
t th, 52.
[3] Sri
Wintala Achmad, Kitab Sakti Ajaran Ranggawarsita, Yogyakarta : Araska,
2014, 92.
[4] Sri
Herminingrum & Gilang M. Majid, “Seizing Local Wisdom : Looking Closer Into
Javanese Folklore Trough Jamasan Pusaka Ritual”, IJLEG, Vol. 2, No. 1, 2016,
40-48.
[5] Sheldon
Stryker, dkk, Self, Identity, and Social Movements, London : University
of Minnesota Press, 2000, 93.
0 Viewers