Pierre Bourdieu Bertemu Dewa Ruci Membahas Kemerdekaan

Senin, 16 Agustus 2021

Ilustrasi Lakon Bima ©2021 Kanjengan.id


__

Oleh: Muhammad Labib

Serat Dewa Ruci merupakan salah satu naskah lakon pewayangan yang menjadi bandha berharga bagi bangsa Indonesia. Naskah ini telah dipentaskan dalam berbagai pertunjukan wayang, ditafsirkan dengan berbagai teori dan pendekatan di dunia akademik. Hal ini menandakan bahwa naskah itu merupakan khazanah kearifan lokal yang menyiratkan nilai dan makna yang lintas ruang-waktu, serta relevan dipakai sebagai ilustrasi pemahaman bagaimana seseorang menapaki perjalanan hidup.

Dikisahkan bahwa lakon Bima (Wrekudara) sedang dalam hajat untuk mencari tirtha pawitra (air kehidupan) guna upgrading diri persiapan menghadapi perang Barathayuda antara Pandawa dan Kurawa. Lewat petunjuk dari guru wasilah-nya, Resi Durna, Bima rela mempertaruhkan nyawanya melawan raksasa Rukmuka dan Rukmukala di goa Candramuka. Serta, sosok naga raksasa di tengah samudera. Pertarungan pertama dimenangkan Bima. Namun, ketika melawan naga, walaupun berbekal senjata “kuku pancanaka” ia terlilit, lelah, dan menyerah.

Walaupun demikian, berkat kepasrahan diri yang total itu, Bima bertemu Dewa Ruci, sosok guru spiritual di ruang hampa-netral. Ruang itu merupakan ilustrasi dari kesadaran dan eksistensi Bima sendiri. Di dalam ruang itu, ia mendapatkan pencerahan agung atas permasalahan dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa alam semesta dan ekstistensinya saling berkaitan. Di dalam ruang itu, hukum alam menjadi terbalik. Semua unsur alam berada dalam dirinya. Setelah merasakan kedamaian dan kepercayaan diri yang tidak ter-perikan, Bima tersadarkan dan kembali kepada keluarganya dengan penuh keyakinan menjalankan tugas-tugas hidupnya.[1]

Sebagai sebuah serat atau naskah tertulis yang dikaji dalam disiplin filologi, kisah Dewa Ruci ini, termuat dalam berbagai macam versi naskah. Namun, dari pada pusing membahas “tethek bengek” perbedaan naskah yang ada, saya cenderung setuju dengan temuan Bernard Arps, bahwa kebanyakan peneliti merujuk kisah ini dari serat yang ditulis oleh Yasadipura I (1729-1803), seorang pujangga Kasunanan Surakarta. Adapun berbagai macam versi selanjutnya, terdapat pengubahan dan penyesuaian antara ajaran Budha dan Islam, yang menandakan bahwa kisah Dewa Ruci berkembang seiring dengan perkembangan religious experience (pengelaman beragama) penulisnya.[2]     

Penjajahan : Realitas Luar dan Dalam

Sebelum membahas kemerdekaan, terlebih dahulu menarik dibahas lawannya, yaitu penjajahan. Namun, dalam konteks ini kita tidak lagi membahas penjajahan sebagai sejarah masa lalu yang berhenti pada nostalgia. Melainkan, memaknainya sebagai bekal untuk menghadapi keadaan masa sekarang dan masa depan di era post-kemerdekaan, yang terilhami dari petikan pidato Presiden Soekarno dalam Peringatan Hari Pahlawan 1961, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Dalam penafsiran kaum pesantren, pidato ini pada dasarnya memiliki benang merah makna dengan hadis yang ditulis oleh Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin yang diriwayatkan dari Al-Baihaqi. Hadis itu menceritakan bahwa suatu ketika, Nabi Pernah mewejang sahabatnya, ”Selamat ! Kalian telah melewati jihad kecil, menuju jihad akbar”. “Apa itu jihad akbar ?”, tanya sahabat. Lalu, Nabi menjawab, “Perjuangan seseorang melawan hawa nafsunya”.[3]

Retorika yang dipekikkan oleh Soekarno di atas, dilatar belakangi oleh kondisi bangsa dan negara Indonesia yang telah menyelesaikan perjuangan melawan penjajah mulai dari Belanda, Portugis, hingga Jepang. Meskipun perjuangan itu berjalan dengan durasi berabad-abad, serta mengorbankan nyawa yang tak terhitung jumlahnya. Menurut Bung Karno, hal itu lebih mudah karena penjajah di masa itu jelas, bisa dibedakan, baik dari ciri fisik, bahasa, dan karakter. Sedangkan, bangsa sendiri lebih susah karena sulit membedakan mana kawan dan mana lawan.

Mengemban wasiat Bung Karno, dengan memaknai penjajah sebagai “londho” atau musuh sebagaimana memori di masa lalu, akan membutuhkan waktu, tenaga, dan materi yang tidak sedikit. Hal itu karena berkaitan dengan realitas sosio-politik Indonesia, yang juga berhubungan dengan kondisi geopolitik internasional. Dan, toh, misalnya seseorang mampu melakukan pemetaan, peran perubahan yang dapat diwujudkan, pasti sangat terbatas dalam komunitas yang terdekat dengannya.

Maka, sebelum lebih jauh mengarah ke sana, “mencantolkan” makna pidato Bung Karno kepada makna dalam Hadis di atas menjadi dlaruri (priotitas primer). Penjajah dalam isyarat makna Hadis di atas, cenderung lebih mengarah kepada arti yang lebih mendasar. Penjajah, atau musuh yang sebenarnya dalam “jihad akbar” adalah hawa nafsu diri sendiri yang menjadi bagian inhern yang tak dapat terpisahkan, mesikpun bepergian beribu-ribu mil, atau bersembunyi di benteng paling rahasia di dunia ini.

Bagi kaum pesantren, tindak lanjut dari Hadis tersebut mengarah kepada metode riyadhah, mujahadah, dan tazkiyatun nafs. Dalam literatur kitab kuning, pembahasan ini menjadi sub kajian yang berjilid-jilid, mengingat rumitnya memahami dan mengelola hawa nafsu (keinginan). Bisa diwujudkan dengan trik puasa menahan lapar, puasa bisu, ngerowot, wirid, belajar, tafakkur, dan lainnya. Pada intinya, metode ini mengerucut pada satu tujuan, yaitu memahami diri dengan berbagai unsurnya, dan akhirnya pengelolaan dan pemberdayaan potensi diri.  

Kemerdekaan : Dewa Ruci dan Gagasan Bourdieu

Pierre Bourdieu (1930 – 2002) merupakan salah satu tokoh filsuf, sosiolog, antropolog kelahiran Perancis. Peninggalan yang ia wariskan, salah satunya adalah gagasan bahwa untuk mewujudkan perilaku dan pengetahuan di dunia sosial, terjadi proses saling mempengaruhi antara individu dan sistem sosialnya. Namun, ia fokus melihat dari sudut pandang bahwa sosok individu tertentu (agen) yang membentuk sistem sosial.

Adapun unsur-unsur yang terlibat dalam proses tersebut adalah habitus (pemaknaan seseorang di suatu sistem sosial), modal (bisa berupa uang, prestasi, gelar, genetik darah biru, ketokohan), field (ruang dan jaringan koneksi antar individu).[4] Dalam demonstrasi sederhana, rumus ini dapat dicontohkan bahwa apabila seseorang dengan pemetaan dan sikap yang tepat, didukung dengan modal yang dibutuhkan, baik berupa uang atau identitas, serta kolega dan momentum yang tepat, akan sangat berpotensi menggoncang lingkungannya dengan gagasan dan pergerakan yang tepat sasaran. Begitu, sebaliknya.

Kisah Dewa Ruci sebagaimana yang telah diurai sebelumnya dalam benak setiap pembacanya pasti terbesit nuansa sakral dan konotasi “klenik”. Kisah Dewa Ruci yang juga mengerucut pada konsep gagasan manunggaling kawulo gusti  (kesatuan antara Tuhan dan hamba) dalam kajian klasik selalu berkutat pada hukum pembahasannya secara fiqh, dampaknya yang berpotensi syirik, dan nuansa-nuansa mistis yang hanya berujung pada sastra dan akrobat diksi. Namun, kebanyakan bingung dalam praktik nyata.

Namun, mencoba memaknainya dengan gagasan Bourdieu ini akan cenderung logis, sederhana, dan dekat dengan praktik di dalam kehidupan sehari-hari. Untuk digunakan sebagai alat dalam memaknai kemerdekaan, perlu ditegaskan seperti sebelumnya dalam makna penjajahan, bahwa kemerdekaan dalam hal ini bukan seperti kemerdekaan dalam pembahasan ilmu sosial, politik dan ekonomi. Melainkan, cenderung mengarah kepada kemerdekaan diri. 

Sebelumnya telah dipahami bahwa penjajahan dalam makna yang lebih mendasar adalah penjajahan yang dilakukan oleh diri sendiri, baik itu pikiran maupun keinginannya (hawa nafsu). Seseorang dengan skill dan prestasi yang “sundhul langit”, dalam momen tertentu sama dengan seseorang yang dilabeli “pecundang”, cenderung mengalami kondisi pertarungan mental, batin, dalam menimbang-nimbang apa sikap yang hendak ia ambil ketika menghadapi suatu masalah di hidupnya. Begitu juga, ketika merasakan dampak yang ditimbulkan oleh pilihan tersebut, ia akan mengalami apa yang biasa disebut dengan “konflik batin”, insecure, mood swing, dan seterusnya.

Berangkat dari sini, maka kemerdekaan sebelum mengarah kepada kemerdekaan politik, sosial, dan ekonomi, adalah kemerdekaan dalam keberhasilan mengelola unsur dan potensi sendiri. Sangat penting bagi seseorang untuk benar dan tepat dalam proses mendapatkan “habitus”. Memiliki kesadaran akan modal yang dimiliki. Serta, memilih field dalam artian teman, kolega, sekutu, dan waktu yang pas. Dengan proses yang sedemikian rupa, baru seseorang akan mampu mengalahkan penjajahan dalam dirinya, yang selanjutnya berimbas pada kemerdekaan diri. Berkat kemerdekaan dirinya, seperti lakon Bima, seseorang akan mampu secara percaya diri, yakin dan mantap dalam melakukan perubahan-perubahan. Baik, dari lingkup kecil, hingga besar sesuai dengan potensi dan peran yang dimiliki.



[1] Zainul Milal Bizawie, Syekh Mutamakkin : Perlawanan Kultural Agama Rakyat, Tangerang : Pustaka Compas, 2014, 159 – 162. 

[2] Bernard Arps, “Dewa Ruci And The Light That Is Muhammad : The Islamization of A Buddhist text in the Yasadipuran Version of the Book of Dewa Ruci”, Leiden University, 2000.

[3] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Beirut : Dar Al-Ma’rifah, (t th), Vol. 3, 66.

[4] George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosisologi Modern (Alimandan, Penerj.), Jakarta : Kencana Prenada Group, 2012. 

0 Viewers