Kidungan Suluk Alif: Tradisi yang Tertidur Puluhan Tahun

Minggu, 29 Agustus 2021

Ilustrasi Suluk (santrinews.com)
 ©2021 Kanjengan.id


__

Oleh: Moh Shadam Taqiyyuddin Azka

           Sabtu, 28 Agustus 2021 diselenggarakan kidungan Suluk Alif di Desa Kajen, Margoyoso, Pati. Acara tersebut merupakan puncak festival Kajen ke VII yang diinisiatori oleh komunitas kebudayaan Kanjengan. Kegiatan ini terbilang unik dan menarik, sebab sudah lama tradisi kidungan Suluk Alif vakum selama puluhan tahun. Apalagi bertepatan dengan bulan Muharam yang mana menjadi perayaan besar bagi haul Mbah Ahmad Mutamakkin dan masyarakat Desa Kajen.

        Sebelum acara puncak ini, Kanjengan telah melaksanakan beberapa agenda seperti podcast, bedah buku, dan sebagainya. Di masa pandemi dan PPKM yang masih berlangsung, kegiatan Kanjengan memang dilaksanakan secara daring melalui kanal Youtube (Kanjengan Official) dan Instagramnya (kanjengan.id). Menurut founding father Kanjengan, Farid Abbad menjelaskan bahwa aktivitas yang dilakukan para pemuda ini merupakan salah satu bentuk melestarikan kebudayaan yang telah ditinggalkan para leluhur terdahulu, khususnya Budaya Desa Kajen.

            Rangkaian acara dimulai dari pembukaan dengan hantaran doa kepada Mbah Ahmad Mutamakkin dan para sesepuh Kajen. Dilanjutkan penuturan cerita asal muasal keberadaan Teks Pakem Kajen oleh Mbah Ruba’i sebagai pemegang kitab tersebut. Sepengetahuan beliau Kitab Teks Pakem Kajen sudah turun temurun diwariskan sampai sekarang ada ditangannya. Singkat cerita tentang Teks Pakem Kajen sesuai yang tertulis dalam kitab bahwa pengarangnya bernama Kiai Abdul Karim dan ditulis tahun 1891 M. Kemudian beliau juga menyinggung terkait tradisi kidungan yang ada di Desa Kajen zaman dahulu. 

Kidungan Suluk Alif merupakan acara pembacaan kitab Teks Pakem Kajen yang berkisah seputar Mbah Ahmad Mutamakkin dengan menggunakan langgam tembang jawa.  Kidungan ini sangat dikenal para orang tua generasi 1950-an. Sebab mereka masih bisa menyaksikan langsung pembacaan kidungan Suluk Alif yang diselenggarakan di makam Mbah Ahmad Mutamakkin ketika haulnya. “Dahulu terakhir kali kidungan ini dibaca sekitar tahun 1958 oleh Modin Suwito. Beliau menembangkan setiap baitnya semalaman suntuk di sareyan[1],” Ujar Mbah Ba’i. Tetapi selepas Modin Suwito meninggal dunia, para generasi penerusnya tidak mampu membacanya sehingga tradisi kidungan Suluk Alif mati suri hampir 63 tahun. Eksistensi kidungan Suluk Alif di benak masyarakat selepas era tersebut kebanyakan tidak tau karena kemunculannya yang sudah lama hilang sejak terakhir kali dipentaskan. Tetapi berkat kehadiran para pemuda Kanjengan, bagai cahaya baru yang membangunkan tidur panjang. Atas terselenggaranya acara tersebut, kidungan Suluk Alif tidak jadi hilang ditelan zaman.

Selepas kisah perjalanan kidungan dipaparkan, acara dilanjutkan dengan pembacaan sekaligus mewedar kisah yang terkandung di dalam Teks Pakem Kajen. Sebelum masuk kidungan, Taufiq Hakim, seorang pemuda Kajen dan pegiat budaya memberikan sedikit pengantar tentang isi kitab Teks Pakem Kajen. “Kitab ini oleh Kiai Abdul Karim diberi nama Suluk Alif yang isinya lebih mengarah pada ajaran tasawuf. Di dalamnya terdapat sejarah Mbah Ahmad Mutamakkin, kisah Dewaruci, dan petikan Serat Wulangreh karya Pakubuwono IV serta Serat Murtasiah.  Ada juga di salah satu babnya menerangkan untuk tidak membuka kitab ini secara terbuka. Mungkin di waktu itu baru gencarnya represi Belanda dan Jepang terhadap ajaran tasawuf,” Ucap Sarjanawan Sastra Jawa UGM tersebut.

Setelah menyampaikan selayang pandangnya, Taufiq Hakim mulai melantunkan Pupuh Asmarandana bab pengenalan kitab Suluk Alif dan Mbah Ahmad Mutamakkin dengan merdu. Kemudian pada Pupuh Dhandhanggula −menjelaskan kedatangan santri kepada Mbah Ahmad Mutamakkin untuk berguru menimba ilmu− ditembangkan oleh Mbah Yasir, mantan dalang yang suaranya tidak kalah lantang. Sampai di bagian Dewaruci, Pupuh Asmarandana, berganti lagi dilantunkan Direktur komunitas Jangkah Yogyakarta dengan langgam Semarangan sekaligus menjelaskan amanat dari cerita tersebut.

Selesai sesi kidungan Suluk Alif, acara dilanjutkan ramah tamah dan Zuli Rizal selaku pembawa acara menutup puncak Festival Kajen ke-VII dengan hamdalah bersama.


 

Moh Shadam Taqiyyuddin Azka, merupakan pemuda kelahiran Pati yang saat ini mengeyam pendidikan di UIN Sunan Kalijaga jurusan manajemen keuangan syariah. Pembaca dapat menyapa Shadam melalui poselnya shadamajha@gmail.com, Instagram : @shadam_123, dan Facebook : Azka Shadam.

 



[1] Sareyan = Makam

0 Viewers