Ini Sikap Syekh Mutamakkin Saat Dicaci
Maki Ulama “Garis Keras”
Oleh: Taufiq Hakim[i]
Kurang lebih 300-an tahun yang lalu, ada seorang
ulama yang diadili. Bukan karena mencuri, atau pun karena ketahuan telah
menyewa lonte. Bukan pula karena bikin masalah lalu kabur ke negara tetangga.
Bukan. Tetapi karena keyakinan mistiknya.
Kisah ini diabadikan oleh Yasadipura II dalam Serat
Cabolek. Sebuah naskah beraksara dan berbahasa Jawa. Sang Pujangga menulisnya
pada saat Kraton Kartasura sudah bubar, dilanjutkan pemerintahan Kraton
Surakarta pada masa pemerintahan Pakubuwana IV (1788-1820).
Selanjutnya, Serat Cabolek yang sampai kepada kita
hingga hari ini adalah edisi salinan yang diterbitkan VanDorp tahun 1885.
Naskah ini tersimpan di Perpustakaan Museum Jakarta.
Kala itu, penguasa Surakarta adalah Pakubuwana IX.
Sementara pujangga yang eksis adalah R. Ng. Ranggawarsita. Versi Serat Cabolek
inilah yang kerap diperbincangkan para peneliti kaitannya dengan riwayat Syekh
Ahmad Mutamakkin. Serat ini juga menggambarkan konflik antara mistisisme Jawa
yang panteistik dengan Islam ortodoks yang ‘garis keras’.
Haji Ahmad Mutamakkin namanya. Ia dipanggil ke
pengadilan Kertasura. Sebelumnya, seseorang telah membikin maklumat dan
disebarkan ke seantereo pantai utara Jawa (pantura), dan wilayah Kertasura
secara umum. Alhasil, Kertasura didera gonjang-ganjing. Langit istana pun
mendadak kerlap-kerlap. Babak kisah huru-hara tersebut terjadi pada era
pemerintahan Pakubuwana II (1726 – 1742), raja terakhir Kraton Kertasura.
Para ulama yang telah membaca maklumat itu, sontak
gelisah. Sekaligus geram. Ada seorang Mutamakkin yang berlaku nista terhadap
agama, terhadap raja, dan terhadap negara. Pasalnya, Mutamakkin didakwa telah
mengajarkan ilmu rahasia secara terang-terangan.
Para ulama yang menuntutnya, menuduh Mutamakkin
merusak perbawa Raja sebagai pemimpin agama. Karenanya, Mutamakkin harus
dijatuhi hukuman. Terlebih, ia gemar mananggap wayang dan memelihara anjing.
Kegemaran ini semakin membuat geram para ulama yang menuntutnya. Yang bikin
makin kemrungsung, dua di antara anjing-anjing Syekh Mutamakkin diberi nama
yang sama dengan dua penghulu Tuban.
“Bid’ah! Syirik! Sesat!” kira-kira demikian
kegeraman para ulama yang menuntut kiai asal Cabolek, Tuban.
Namun begitu, Syekh Mutamakkin dengan tenang dan
mantap memenuhi panggilan pengadilan. Ia bahkan memilih agar dihukum bakar
saja. Supaya bau asapnya tercium sampai ke negeri Yaman, kampung halaman guru
ngajinya, Syekh Zayn al-Mizjaji al-Yamani.
Tekad itu lah yang justru membuat Pakubuwana II
bertanya-tanya. Bagaimana mungkin, seorang yang hendak dihukum mati malah
bangga. Bahkan memilih jenis hukuman mati yang hendak ditimpakan kepada dirinya
sendiri.
Ia tidak kabur ke luar negeri, atau menggalang massa
untuk menentang keputusan Istana. Justru Syekh Mutamakkin malah mengajak
beberapa muridnya untuk mengantar ke pengadilan istana. Supaya para muridnya
mengetahui tekad yang ada di dalam dirinya.
Pakubuwana II lantas menugaskan adik iparnya, Demang
Urawan, untuk memantau jalannya pengadilan. Pasalnya, Sang Raja cukup dibuat
pusing dengan jalannya pengadilan yang alot. Sebagian ulama bersikeras
Mutamakkin segera dihukum mati, sebagian ulama yang lain kekeh membelanya.
Setiap waktu, Demang Urawan selalu melaporkan
perkembangan pengadilan. Laporan demi laporan diterima Sang Raja dengan baik,
secara rahasia. Sang Perdana Menteri istana yang memimpin pengadilan, Adipati
Danureja, bahkan tidak mengetahui pertemuan itu.
Kepada Sang Raja, Demang Urawan melaporkan,
Mutamakkin ialah seorang yang selalu membaca kisah Bima Suci selama perjalanan
menuju Kertasura. Sehabis salat Isya, Mutamakkin juga tidak tidur seperti yang
lain. Ia kembali membuka kitab Bima Suci.
Mutamakkin, kata Demang Urawan, adalah seorang yang
tidak banyak bicara selama pengadilan berlangsung. Meskipun diolok-olok para
ulama ‘garis keras’, Mutamakkin tetap diam dan tidak pula membalasnya dengan
olok-olok.
Dalam sebuah kesempatan, Demang Urawan, atas
perintah Raja, sekali lagi ingin mengetahui keyakinan Mutamakkin.
Dipertemukanlah Mutamakkin dengan Ketib Anom, koordinator para ulama yang
menentang Mutamakkin. Demang Urawan ingin mengetahui wedaran kisah Bima Suci
dari keduanya.
Namun, sekali lagi, betapa hebatnya Ketib Anom
mewedar kisah Jawa klasik itu, Mutamakkin tetap tak bergeming. Namun secara
pribadi, Mutamakkin sebelumnya telah memberitahukan kepada Demang Urawan.
Memang kisah Bima Suci lah yang ia gandrungi. Kisah tersebut, kata Mutamakkin,
mirip dengan ajaran Islam yang ia pelajari saat ngaji di Yaman.
Mendengar penjelasan Demang Urawan, Sang Raja
akhirnya menetapkan keputusan: pengadilan Mutamakkin harus dibubarkan!
Pasalnya, kata Raja, Mutamakkin nyatanya mengamalkan ilmu rahasia untuk dirinya
sendiri. Kendati pun sampai dicaci maki, bahkan dianggap dungu, Mutamakkin
tetap teguh hatinya.
Di samping itu, Sang Raja menghargai maksud Ketib
Anom cs yang bermaksud menjaga kewibawaannya sebagai pemimpin agama. Hanya
saja, laporan mereka yang sesungguhnya membikin suasana jadi kemrungsung.
Karena Mutamakkin dicaci maki, Sang Raja pun angkat
bicara. Mutamakkin dibela. Raja bahkan mengakuinya sebagai orang suci atau
wali, ‘petugas suksma’ yang telah dikaruniai Tuhan untuk menyandang gelar haji,
serta sosok yang ditakdirkan memiliki hati suci. Hal ini sebagaimana tertulis
dalam Serat Cabolek Pupuh II Asmarandana bait 18-19, sebagai berikut:
mring ature uwa patih/
lan sagung para ngulama/ muwah pra wadana kabeh/ wataraku iku Bapang/ nedya den
anggo dhawak/ ngelmune mengkono iku/ yen durung angajak-ajak//
nelukake kanan kering/
wong mancapat mancalima/ mancanem mancapitune/ kabeh wus pasah den ajak/ aja na
nganggo sarak/ tan kena ginawe lampus/ mung tirunen ngelmuningwang//
Artinya:
…nasihat pamanku
Perdana Menteri. Semua para ulama dan para wadana, dalam pandanganku, Bapang,
Mutamakkin memaksudkan hanya untuk dirinya ilmu semacam ini. Kalau ia tidak
mengajak (orang lain)
membuat perubahan di
sana-sini, orang-orang dari mancapat dan mancalima dari mancanem dan mancapitu,
dan semua dengan berhasil telah diajak untuk menolak hukum, dia tidak dapat
dihukum mati, kalau (ia hanya berkata): “Tirulah ilmu mistikku”.
Demikianlah. Kisah seorang ulama yang memilih diam
ketika diolok-olok dan dicaci maki. Meskipun bukan diam dalam arti yang
sesungguhnya. Syekh Ahmad Mutamakkin sesungguhnya menjawab olok-olok itu dengan
sebuah contoh. Dengan sikap diamnya, Mutamakkin menunjukkan bahwa tuduhan para
penentangnya tidak berdasar. Nyatanya, Mutamakkin mengamalkan ilmu rahasia
untuk dirinya sendiri.[]