Foto: Nugraha Tria Agung/pinterest
__________________________________
Zaman serba modern dan kemajuan digitalisasi mampu memotong jarak ruang dan waktu. Keadaan tersebut membawa membawa dampak perubahan yang signifikan bagi kehidupan. Semula yang makan harus pergi ke warung, sekarang makanan bisa datang sendiri hanya dengan sentuhan jari. Kalau ingin menonton konser di Korea, tidak perlu susah payah terbang ke sana, tinggal buka siaran langsung di depan monitor sudah bisa.
Semua sudah dimudahkan. Tetapi dari semua itu, pastinya muncul problematika terutama pada pribadi manusia. Hadirnya digitalisasi menimbulkan sifat-sifat manusia berubah, terutama condong ke arah negatif. contohnya, individualisme, egoisme, dan lainnya. Siapa yang tidak mempunyai pegangan moral atau jati diri, maka akan terseret dalam pusaran arus tersebut.
Padahal moralitas manusia merupakan sesuatu yang sensitif dibandingkan dengan hal-hal lainnya. Sebab, dari moral akan menyentuh pada jiwa seseorang dan dari jiwa akan mempengaruhi perilaku kehidupannya. Pada konteks kekinian dengan hadirnya teknologi seseorang malah menjadi semakin jauh dari jati diri sebagai bangsa Indonesia. Misalnya, meniru kebudayaan barat atau yang baru viral sekarang ini bergaya ala artis Korea. Keadaan semacam ini membahayakan eksistensi jati diri bangsa.
Bagaimanapun caranya, seseorang harus mempunyai jati diri dalam pribadinya. Terkait hal tersebut, ada sebuah kisah pewayangan yang menyiratkan perjalanan pencarian jati diri. Cerita tersebut bernama Serat Dewa Ruci. Tokoh utama kisah ini merupakan seorang dengan senjata andalan gada, yaitu Arya Sena. Sebagai kisah mistik dan spiritual yang penting bagi orang Jawa, barangkali menarik jika kita membacanya kembali dan menerjemahkannya untuk memaknai apa yang terjadi di masa sekarang.
Umpamanya, Arya Sena adalah kita di masa sekarang. Ia menjadi citra diri manusia dalam segala kehidupan yang penuh simbol dan misteri. Dewa Ruci merupakan cerita mistik religius bagi orang Jawa. Di dalamnya terkandung pesan ikhwal peran masyarakat dalam menjalankan kehidupan di dunia.
Suatu kala, Arya Sena mempunyai saudara bersifat baik bernama Pandawa dan saudara jahat berjuluk Kurawa. Begitu juga dengan kita sekarang yang mempunyai saudara baik bernama akal dan hawa nafsu sebagai saudara jahat. Kedua sifat tersebut tidak ada yang paling unggul dalam diri manusia, semua mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Tergantung bagaimana seseorang mengendalikan, seperti petuah, “Berkawanlah kamu dengan akal sehat dan kendalikanlah hawa nafsu.”
Dikisahkan, Arya Sena diperintahkan gurunya mencari tirta prawita sari. Seruan tersebut merupakan buah persekongkolan antara Resi Drona dengan Kurawa, agar Sena mati. Resi Drona sebagai guru tidak sembarang menyuruh muridnya. Pasti ia sudah mengetahui apa yang diberikan kepada Sena. Tetapi, Drona hanya sebatas tahu, belum belum menemukannya sendiri.
Sementara itu, Arya Sena beranggapan lain. Apa yang diperintahkan gurunya harus ditaati dan dijalankan. Lalu Sena pergi dengan keyakinan kuat seorang diri tanpa teman. Tujuan pertama adalah pergi ke Hutan Tibrasa di kaki Gunung Candradimuka. Ketika mencari air kehidupan tersebut, ia dihadang oleh dua raksasa bernama Rukmuka dan Rukmakala. Rintangan tersebut berhasil ditaklukan dengan membunuh kedua raksasa itu. Tidak berselang lama, ternyata raksasa itu berubah menjadi Dewa Indra dan Dewa Bayu. Mereka berterima kasih kepada Sena karena telah membebaskan kutukannya. Mereka juga bilang kepada Sena bahwa air yang dicarinya tidak ada di sana.
Mendapati informasi tersebut Sena kembali kepada gurunya untuk meminta petunjuk yang jelas. Tiba di istana, Sena langsung berkata kepada gurunya bahwa air tersebut tidak ada di Gunung Candradimuka. Lalu sang guru memerintah untuk pergi ke dasar samudra, di sanalah air kehidupan itu berada. Tanpa basa-basi, Sena dengan kesaktiannya melesat pergi dengan cepat selepas diberitahu gurunya. Sampainya ia di tepi laut, keraguan menghinggapi diri Sena. Melihat luasnya lautan dan nampak dalam, bagaimana ia bisa menemukan air kehidupan? Berkat tekad bulatnya, dengan penuh keyakinan Sena menceburkan diri ke dalam lautan. Ia terus menyelam semakin dalam. Sampai suatu ketika seekor naga muncul dan melilit dirinya begitu kuat. Sehingga Sena susah untuk bernafas. Mereka pun bertarung dengan sengit. Akhirnya dengan pusaka kuku Pancanaka, Sena berhasil membunuh naga tersebut.
Namun, pertarungan yang panjang membuat Sena kelelahan dan tiada daya lagi untuk menyelam. Ia berpasrah diri diombang-ambing gelombang. Sampai akhirnya sayup-sayup terdengar suara berbarengan dengan seseorang berwujud seperti anak kecil yang menyerupai dirinya mendekat. Ternyata itu adalah seorang dewa bernama Ruci. Dewa Ruci menanyakan kepada Sena perihal maksud dan tujuannya. Sena menjawab bahwa ia mencari air kehidupan. Dewa Ruci memberi tahu bahwa air yang dicari tidak ada. Lantas Sena kebingungan bersedih hati. Kemudian, Dewa Ruci mempersilakan Sena masuk ke dalam tubuhnya untuk mengetahui sejatinya air kehidupan. Keraguan dirasakan Sena karena melihat tubuh Dewa Ruci yang kecil, mana mungkin dirinya bisa masuk ke dalam?
Dewa Ruci berusaha meyakinkannya. Akhirnya Sena pun bisa masuk ke dalam. Di tubuh Dewaruci tersebut dunia jati diri bernama jagat walikan berada. Sena mendapatkan banyak wejangan dari Dewa Ruci ketika di sana. Sena mendengarkan pesan-pesan hidup yang sangat berharga dari Dewa Ruci. Sehingga Sena mengerti arti dari sebuah perjalanan hidup. Di akhir amanahnya, Dewa Ruci berpesan kepada Sena agar tidak menyebarkan peristiwa ini kepada siapapun, termasuk saudaranya. Cukup ia yang tahu perihal kejadian ini. Selanjutnya, setelah proses panjang dan penuh rintangan, Sena keluar dari tubuh Dewa Ruci. Ia pun nampak seperti manusia yang terlahir kembali. Sena telah menemukan jati dirinya, yakni mengerti maksud dan tujuan dari kehidupan yang ia lakoni. Lalu Sena pamit pulang untuk bertemu guru dan saudara-saudaranya.
Kisah Dewa Ruci di atas menggambarkan manusia dalam pencarian jati dirinya. Pada zaman digitalisasi sekarang ini, kesadaran atas jati diri menduduki peranan penting dalam diri masyarakat. Sebab jati diri menjadi filtrasi pribadi dalam menerima apapun yang masuk melalui digitalisasi. Memang, ada beberapa manfaat yang timbul dari adanya kemajuan globalisasi seperti cepatnya pertukaran informasi, memudahkan pekerjaan, kegiatan tatap muka bisa dilakukan dengan daring, dan lainnya. Tetapi, di balik kemewahan itu, dampak negatifnya dapat merusak moral bangsa. Contohnya, muncul sikap hedonisme, individual, timbulnya ujaran kebencian, hoax, dan kejahatan cyber.
Celakanya, melihat fenomena sekarang ini, jati diri bangsa belum menempati posisi yang semestinya dalam pribadi setiap warga Indonesia. Malah bisa jadi jati diri tersebut tidak pernah disadari keberadaannya dalam kehidupannya sedari dini. Sebagai contoh, timbulnya perilaku masyarakat yang kebarat-baratan juga dampak dari lemahnya kesadaran atas jati diri masyarakat dalam menghadapi kemajuan. Kesiapan seseorang dalam menerima kemajuan digitalisasi harus optimal. Oleh karena itu, kesadaran atas jati diri diperlukan sebagai pilar bangsa agar tidak runtuh diterpa arus teknologi.
Adapun dari kisah Dewa Ruci, bangsa Indonesia bisa menarik pelajaran yang harus dilakukan untuk mencari jati diri di tengah kencangnya digitalisasi. Pertama, babak ketika Sena hendak mencari air kehidupan di Hutan Tibrasa dan menghadapi dua raksasa Rukmuka dan Rukmakala. Selain itu juga, ketika Sena berhadapan dengan naga di samudra. Kalau di pewayangan, tibra artinya hawa nafsu atau susah, Rukmuka artinya wajah gadis, Rukmakala artinya emas, dan naga simbol nafsu syahwat. Maka pesan dari perjalanan tersebut yaitu seseorang manusia harus bisa memerangi hawa nafsunya berupa harta, tahta, wanita, dan syahwatnya.
Kalau kita terapkan pada kondisi sekarang, ibaratnya; Rukmuka, Rukmakala, dan naga adalah internet dengan segala fitur di dalamnya. Jika Sena mengalahkan semuanya, maka kita juga harus bisa menundukkannya dengan cara menggunakan produk teknologi dengan bijak. Sebagai contoh, bermain internet untuk hal positif, seperti mencari informasi, berkomunikasi, dan lainnya. Siapapun orangnya jika mempunyai sifat bijak, baik dalam memilih maupun menggunakan, maka ia tidak akan terjerumus pada hal-hal yang tidak diinginkan.
Kedua, saat Sena bertemu Dewa Ruci dan mendapatkan wejangan hidup sehingga ia bisa menemukan jati dirinya sebagai manusia. Episode ini menjelaskan bahwa ketika seseorang sudah berusaha, maka akan menemukan arti di dalam dirinya sendiri dengan tuntunan guru. Pada pengaplikasiannya saat ini, pribadi warga Indonesia harus mampu menemukan sosok Dewa Ruci dalam kehidupannya. Entah itu dari keluarga, teman, atau pun lingkungan. Sebab dengan adanya seseorang yang membimbing, kita tidak akan tersesat dalam kegelapan. Mereka akan menjadi pengingat juga ketika kita salah arah dalam mengikuti jalan. Bahkan mereka akan menarik kita kembali ketika terseret arus kemajuan digitalisasi.
Begitulah kira-kira hikmah dari kisah Dewa Ruci dalam penggambaran pencarian jati diri di tengah lunturnya pribadi bangsa Indonesia dan gelombang digitalisasi saat ini. Kesadaran atas jati diri dalam pribadi bangsa Indonesia sangat dibutuhkan. Kalau masyarakat sudah tidak lagi memiliki jati diri, maka hancurlah tatanan negeri. Sebab kunci kekuatan suatu negara terletak pada karakter bangsanya. Jika moralitas bangsa Indonesia baik, maka kehidupan pun akan berjalan baik. Oleh karena itu, marilah bersama-sama berpijak pada jati diri bangsa agar tidak mudah terjerumus pada godaan kemajuan zaman.[]
*Moh Shadam Taqiyyuddin Azka, merupakan pemuda kelahiran Pati yang saat ini mengeyam pendidikan di UIN Sunan Kalijaga jurusan manajemen keuangan syariah. Pembaca dapat menyapa Shadam melalui poselnya shadamajha@gmail.com, Instagram : @shadam_123, dan Facebook : Azka Shadam.
Referensi
Wahyudi, Agus. 2012. Serat
Dewaruci (Pokok Ajaran Tasawuf Jawa). Yogyakarta: Narasi.
0 Viewers