Ilustrasi Salat Istikharah Photo: (source: republika) ©2021 Kanjengan.id
__
Dalam tradisi umat
Islam dan khususnya kaum pesantren, istilah istikharah bukan merupakan
suatu hal yang asing lagi. Kata istikharah merupakan sighat masdar
(kata benda) dalam tata gramatika Bahasa Arab yang berarti sebuah cara untuk
meminta dan memantapkan pilihan. Pada realitanya, istikharah mewujud
dalam bentuk yang bermacam-macam. Mulai dari salat sunnah, metode tuntunan ayat
qur’an (istikharah bi Al-Qur’an), atau perhitungan tanggal kelahiran dan
nama klien. Semuanya diamalkan oleh kaum pesantren dengan kaifiyah (tata
cara) tertentu dengan tuntunan dari seorang kyai/guru yang memberikan ijazah
atau pernyataan kebolehan mengamalkan. Namun, barangkali yang cenderung
mainstream dan memiliki dasar teks keIslaman yang kuat adalah jenis salat
sunnah.
Umumnya, seseorang
mengamalkan jenis istikharah tertentu ketika sedang mengalami
kegelisahan dan kebingungan dalam menghadapi situasi di mana ia didesak untuk
segera memberikan pilihan dan sikap yang pada gilirannya akan berhubungan
dengan situasi dan kondisi selanjutnya di masa mendatang. Misalnya memilih
tempat belajar (sekolah, pesantren, kampus), memilih jodoh, memilih jenis
pekerjaan, dan pilihan-pilihan logis-praktis lainnya yang berkaitan langsung
dengan kehidupan seseorang.
Barangkali untuk
istikharah jenis tuntunan Al-Qur’an dan perhitungan tanggal-nama klien,
cenderung didalami dalam ilmu hikmah, yang tidak akan dibahas secara
mendalam, karena keterbatasan kapasitas tulisan ini. Namun, untuk jenis istikharah
salat sunnah, dapat dipahami misalnya merujuk pada isyarat makna yang
terkandung dalam kitab Nihayatuzzain karya Syekh Nawawi Banten.
Kitab ber-”genre”
fiqh-tasawuf ini, menerangkan bahwa ketika seseorang memiliki “kerentek”
hati untuk memilih suatu keputusan (‘azm) terhadap suatu apapun - namun
masih bimbang -, hendaklah ia berwudlu dan mengerjakan salat sunah istikharah 2
rakaat. Pada rakaat pertama membaca surat Al-fatihah dan Al-Kafirun, sedangkan
dalam raka’at kedua membaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlas, disusul setelah ritual
solat selesai, membaca doa yang substansinya bertujuan untuk meminta kepada
Allah supaya diberikan kemantapan hati terhadap pilihan yang telah diambil.
Atau, diberikan solusi jalan keluar bagi yang belum mampu merumuskan pilihan,
sambil secara spesifik menyebutkan hajat (kepentingan) mendesak yang
sedang dihadapi.
Berbeda dengan
istikharah jenis tuntunan Al-qur’an dan perhitungan tanggal-nama yang result
(hasil)-nya dapat langsung didapatkan dan ditafsirkan lewat petunjuk ayat
Qur’an dan hasil perhitungan. Jenis istikharah salat sunah merujuk pada
keterangan Syekh Nawawi, umumnya berupa
“secerca pencerahan/kelegaan dan kemantapan” di dalam dada terkait pilihan yang
hendak diambil, yang didapatkan dengan durasi dan momentum yang tidak pasti,
serta tidak bisa diukur dengan indikator dan instrumen matematis-kuantitatif.
Sebagian pendapat lain, menerangkan bahwa hasilnya berupa petunjuk mimpi yang
akan ditafsirkan kemudian sesuai dengan konteks pelaku. Namun, Syekh Nawawi
melanjutkan keterangan, kalau belum dianugerahi “pencerahan” tersebut,
dianjurkan kepada pelaku untuk tetap menjalani apapun pilihan refleks yang
diambil sebagai gerak zahir, kemudian disusul dengan laku tawakkal dalam batin.
Pembahasan tentang istikharah
yang sedemikian ini, barangkali bagi komunitas pesantren merupakan sebuah
tradisi yang mainstream. Namun, bagi komunitas lain, bisa jadi pembahasan yang
cenderung “sakral” tersebut bisa dianggap sebagai bagian dari penyakit TBC
(takhayyul, bid’ah, dan churafat) yang “dianggap” sebagai sisi irasionalitas
muslim yang menjadi salah satu penyebab kemunduran peradabannya. Dalam titik
yang lebih ekstrim, bahkan dapat memunculkan stigma, stereotype dan marginalisasi
bagi kaum pesantren, seperti hasil penelitian segelintir akademisi orientalis yang
mengukuhi prinsip hidup rasionalisme, empirisme dan positivisme,
Namun, saya tidak akan lebih jauh membahas
ke situ yang ujung-ujungnya mengarah kepada tulisan yang tendensius dan akan
memicu perdebatan yang tidak ada habisnya. Terlepas dari konotasi dan
perdebatan yang ada, saya justru berpendapat bahwa pembahasan tentang
istikharah ini menjadi menarik tidak hanya dilihat dari sisi sakralitasnya. Selain
itu, istikharah bisa ditarik kepada pembahasan yang berdimensi sosial dan
cenderung profan. Apabila dipotret secara lebih utuh, pembahasan istikharah akan
bersinggungan dengan konteks yang lebih luas, yaitu tentang makna kemanusiaan
dan the art of leadership (seni kepemimpinan).
Hubungan istikharah
dengan makna kemanusiaan, merujuk pada doktrin manusia sebagai khalifah Allah
yang dalam gagasan Ibnu Arabi yang dikutip oleh Abdul Jalil dalam bukunya ‘Spiritual
Entrepreneurship : Transformasi spiritualitas kewirausahaan”, membentuk
semacam relasi “piramida kosmik”.
Bentuk relasi ini
menempatkan Tuhan sebagai “meta kosmos” berarti pengeran (sosok yang
di-ngengeri atau dianggap pengasuh dan pengawas), alam semesta sebagai
“makro-kosmos” (jagad ageng) berarti ekosistem dan partner hidup yang
di-taskhir (tunduk) kepada manusia, serta manusia sebagai “mikro-kosmos”
(jagad alit) berarti miniatur semesta dan sosok pemimpin bagi
makro-kosmos, namun tetap di bawah kendali dan asuhan sistem dan tata nilai
meta-kosmos.
Berpijak pada konsep
ini, maka dapat ditemukan hubungan antara istikharah dan seni
kepemimpinan yang dalam kajian akademis cenderung didiskusikan dalam
teori-teori organisasi dan manajemen. Istikharah menggunakan pendekatan
teori ini, mirip dengan konsep decision making (pengambilan keputusan)
baik dalam lingkup individu, yang nantinya berhubungan dengan lingkup sosial,
dan juga kelembagaan dan secara lebih konkrit bertransformasi dalam bentuk public
policy (kebijakan publik).
Sampai sini, flashback
kepada model ritual istikharah ala pesantren sebelumnya. Pada tataran realita
pasca ritual, pelaku diminta untuk menunggu hasil dari doa dan tawassul yang
dipanjatkannya lewat teknis yang sudah diuraikan sebelumnya. Pada moment ini
lah analisis SWOT menemukan perannya. SWOT merupakan singkatan dari strength
(kekuatan), weakness (kelemahan), opportunity (peluang), dan threat
(ancaman). Konsep ini cenderung dipakai dalam praktik organisasi bisnis dan
sosial untuk memetakan kondisi lembaga dan komunitas yang dihadapi. Dua poin
pertama, kedua (strength dan weakness) berguna untuk memetakan kondisi
internal. Sedangkan, poin ketiga , keempat (opportunity dan threat)
untuk memetakan kondisi eksternal.
Sebetulnya, konsep SWOT
dapat dipakai untuk memetakan kondisi individu yang akan membantu proses
penafsiran hasil istikharah. Bahkan, hasil analisis SWOT mampu memberikan
potret kondisi dan situasi yang utuh, yang pada gilirannya akan memberikan
rumusan rekomendasi terhadap rencana keputusan dan pilihan yang hendak diambil
oleh seseorang dalam menghadapi problem kebimbangannya. Hal ini tidak
dimaksudkan untuk menggantikan tafsir mimpi, hasil salat sunnah, tuntunan
al-Qur’an, maupun hasil perhitungan tanggal-nama yang sudah memiliki “sanad”
dan “akar” teks Islam yang kuat. Melainkan, untuk lebih membantu memberikan
gambaran utuh bagi pilihan yang hendak diambil pelaku yang menggabungkan antara
yang sakral dan yang profan, yang abstrak dan yang riil, yang irrasional dan
yang rasional. Sehingga, dicapailah suatu titik temu yang harmonis dan
berdampak lebih besar bagi kemaslahatan hidup.
0 Viewers