Istikharah dan Analisis SWOT: Titik temu antara yang sakral dan yang profan

Jumat, 30 Juli 2021

Ilustrasi Salat Istikharah Photo: (source: republika©2021 Kanjengan.id


__

Oleh: Muhammad Labib


Dalam tradisi umat Islam dan khususnya kaum pesantren, istilah istikharah bukan merupakan suatu hal yang asing lagi. Kata istikharah merupakan sighat masdar (kata benda) dalam tata gramatika Bahasa Arab yang berarti sebuah cara untuk meminta dan memantapkan pilihan. Pada realitanya, istikharah mewujud dalam bentuk yang bermacam-macam. Mulai dari salat sunnah, metode tuntunan ayat qur’an (istikharah bi Al-Qur’an), atau perhitungan tanggal kelahiran dan nama klien. Semuanya diamalkan oleh kaum pesantren dengan kaifiyah (tata cara) tertentu dengan tuntunan dari seorang kyai/guru yang memberikan ijazah atau pernyataan kebolehan mengamalkan. Namun, barangkali yang cenderung mainstream dan memiliki dasar teks keIslaman yang kuat adalah jenis salat sunnah.

Umumnya, seseorang mengamalkan jenis istikharah tertentu ketika sedang mengalami kegelisahan dan kebingungan dalam menghadapi situasi di mana ia didesak untuk segera memberikan pilihan dan sikap yang pada gilirannya akan berhubungan dengan situasi dan kondisi selanjutnya di masa mendatang. Misalnya memilih tempat belajar (sekolah, pesantren, kampus), memilih jodoh, memilih jenis pekerjaan, dan pilihan-pilihan logis-praktis lainnya yang berkaitan langsung dengan kehidupan seseorang.

Barangkali untuk istikharah jenis tuntunan Al-Qur’an dan perhitungan tanggal-nama klien, cenderung didalami dalam ilmu hikmah, yang tidak akan dibahas secara mendalam, karena keterbatasan kapasitas tulisan ini. Namun, untuk jenis istikharah salat sunnah, dapat dipahami misalnya merujuk pada isyarat makna yang terkandung dalam kitab Nihayatuzzain karya Syekh Nawawi Banten.

Kitab ber-”genre” fiqh-tasawuf ini, menerangkan bahwa ketika seseorang memiliki “kerentek” hati untuk memilih suatu keputusan (‘azm) terhadap suatu apapun - namun masih bimbang -, hendaklah ia berwudlu dan mengerjakan salat sunah istikharah 2 rakaat. Pada rakaat pertama membaca surat Al-fatihah dan Al-Kafirun, sedangkan dalam raka’at kedua membaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlas, disusul setelah ritual solat selesai, membaca doa yang substansinya bertujuan untuk meminta kepada Allah supaya diberikan kemantapan hati terhadap pilihan yang telah diambil. Atau, diberikan solusi jalan keluar bagi yang belum mampu merumuskan pilihan, sambil secara spesifik menyebutkan hajat (kepentingan) mendesak yang sedang dihadapi.

Berbeda dengan istikharah jenis tuntunan Al-qur’an dan perhitungan tanggal-nama yang result (hasil)-nya dapat langsung didapatkan dan ditafsirkan lewat petunjuk ayat Qur’an dan hasil perhitungan. Jenis istikharah salat sunah merujuk pada keterangan Syekh Nawawi, umumnya  berupa “secerca pencerahan/kelegaan dan kemantapan” di dalam dada terkait pilihan yang hendak diambil, yang didapatkan dengan durasi dan momentum yang tidak pasti, serta tidak bisa diukur dengan indikator dan instrumen matematis-kuantitatif. Sebagian pendapat lain, menerangkan bahwa hasilnya berupa petunjuk mimpi yang akan ditafsirkan kemudian sesuai dengan konteks pelaku. Namun, Syekh Nawawi melanjutkan keterangan, kalau belum dianugerahi “pencerahan” tersebut, dianjurkan kepada pelaku untuk tetap menjalani apapun pilihan refleks yang diambil sebagai gerak zahir, kemudian disusul dengan laku tawakkal dalam batin.

Pembahasan tentang istikharah yang sedemikian ini, barangkali bagi komunitas pesantren merupakan sebuah tradisi yang mainstream. Namun, bagi komunitas lain, bisa jadi pembahasan yang cenderung “sakral” tersebut bisa dianggap sebagai bagian dari penyakit TBC (takhayyul, bid’ah, dan churafat) yang “dianggap” sebagai sisi irasionalitas muslim yang menjadi salah satu penyebab kemunduran peradabannya. Dalam titik yang lebih ekstrim, bahkan dapat memunculkan stigma, stereotype dan marginalisasi bagi kaum pesantren, seperti hasil penelitian segelintir akademisi orientalis yang mengukuhi prinsip hidup rasionalisme, empirisme dan positivisme,

    Namun, saya tidak akan lebih jauh membahas ke situ yang ujung-ujungnya mengarah kepada tulisan yang tendensius dan akan memicu perdebatan yang tidak ada habisnya. Terlepas dari konotasi dan perdebatan yang ada, saya justru berpendapat bahwa pembahasan tentang istikharah ini menjadi menarik tidak hanya dilihat dari sisi sakralitasnya. Selain itu, istikharah bisa ditarik kepada pembahasan yang berdimensi sosial dan cenderung profan. Apabila dipotret secara lebih utuh, pembahasan istikharah akan bersinggungan dengan konteks yang lebih luas, yaitu tentang makna kemanusiaan dan the art of leadership (seni kepemimpinan).

Hubungan istikharah dengan makna kemanusiaan, merujuk pada doktrin manusia sebagai khalifah Allah yang dalam gagasan Ibnu Arabi yang dikutip oleh Abdul Jalil dalam bukunya ‘Spiritual Entrepreneurship : Transformasi spiritualitas kewirausahaan”, membentuk semacam relasi “piramida kosmik”.

Bentuk relasi ini menempatkan Tuhan sebagai “meta kosmos” berarti pengeran (sosok yang di-ngengeri atau dianggap pengasuh dan pengawas), alam semesta sebagai “makro-kosmos” (jagad ageng) berarti ekosistem dan partner hidup yang di-taskhir (tunduk) kepada manusia, serta manusia sebagai “mikro-kosmos” (jagad alit) berarti miniatur semesta dan sosok pemimpin bagi makro-kosmos, namun tetap di bawah kendali dan asuhan sistem dan tata nilai meta-kosmos.

Berpijak pada konsep ini, maka dapat ditemukan hubungan antara istikharah dan seni kepemimpinan yang dalam kajian akademis cenderung didiskusikan dalam teori-teori organisasi dan manajemen. Istikharah menggunakan pendekatan teori ini, mirip dengan konsep decision making (pengambilan keputusan) baik dalam lingkup individu, yang nantinya berhubungan dengan lingkup sosial, dan juga kelembagaan dan secara lebih konkrit bertransformasi dalam bentuk public policy (kebijakan publik).

Sampai sini, flashback kepada model ritual istikharah ala pesantren sebelumnya. Pada tataran realita pasca ritual, pelaku diminta untuk menunggu hasil dari doa dan tawassul yang dipanjatkannya lewat teknis yang sudah diuraikan sebelumnya. Pada moment ini lah analisis SWOT menemukan perannya. SWOT merupakan singkatan dari strength (kekuatan), weakness (kelemahan), opportunity (peluang), dan threat (ancaman). Konsep ini cenderung dipakai dalam praktik organisasi bisnis dan sosial untuk memetakan kondisi lembaga dan komunitas yang dihadapi. Dua poin pertama, kedua (strength dan weakness) berguna untuk memetakan kondisi internal. Sedangkan, poin ketiga , keempat (opportunity dan threat) untuk memetakan kondisi eksternal.

Sebetulnya, konsep SWOT dapat dipakai untuk memetakan kondisi individu yang akan membantu proses penafsiran hasil istikharah. Bahkan, hasil analisis SWOT mampu memberikan potret kondisi dan situasi yang utuh, yang pada gilirannya akan memberikan rumusan rekomendasi terhadap rencana keputusan dan pilihan yang hendak diambil oleh seseorang dalam menghadapi problem kebimbangannya. Hal ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan tafsir mimpi, hasil salat sunnah, tuntunan al-Qur’an, maupun hasil perhitungan tanggal-nama yang sudah memiliki “sanad” dan “akar” teks Islam yang kuat. Melainkan, untuk lebih membantu memberikan gambaran utuh bagi pilihan yang hendak diambil pelaku yang menggabungkan antara yang sakral dan yang profan, yang abstrak dan yang riil, yang irrasional dan yang rasional. Sehingga, dicapailah suatu titik temu yang harmonis dan berdampak lebih besar bagi kemaslahatan hidup.




0 Viewers