![]() | |
|
__
Oleh: M. Farid Abbad
“Kalau engkau bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis.”
(Syaikh Imam Al-Ghazali)
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”
(Pramoedya Ananta Toer)
“Kuasai dunia dengan ilmu, jalannya adalah belajar, senjatanya adalah menulis, kekuatannya berasal dari membaca. Maka, Iqra’, bacalah!”
(Fahruddin Faiz)
Menulis adalah bekerja untuk keabadian, pernyataan ini menjadi salah satu mantra yang sering disampaikan oleh para penulis dalam acara-acara workhsop kepenulisan, pelatihan menulis, klinik menulis, dan sejumlah acara yang isinya membicarakan hal ihwal tentang menulis. Tafsir dari pernyataan itu sungguh nyata karena yang tertulis akan mengabadi dan terucap akan berlalu bersama angin. Sejarah akan mencatat dan membaca sebuah karya tulis karena ia berjejak, dan tulisan itu akan terus abadi melintasi zaman dan generasi.
Kegiatan menulis sebenarnya adalah pekerjaan yang mudah, karena dia hanya butuh niat dan semangat saja. Buktinya, banyak orang yang menjadi penulis besar dan namanya sampai sekarang kita kenal, tradisi menulispun sudah lama tumbuh subur di kalangan para ulama, lihat saja ulama-ulama Nusantara yang go-international semunya memilki karya yang sangat berpengaruh. Sebut saja Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Syams Al-Din Al-Sumaterani, Syekh Nur Al-Din Al-Raniri, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Syekh Abd Al-Shamad Al- Palimbani, Syekh Yusuf Al-Makassari, Syekh Abd Al-Rauf Al-Sinkili, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Al-Turmusi, Syekh Yasin Al-Fadani, KH. Ihsan Jampes, KH. Sholeh Darat, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Fadhol As-Senory, KH. Bisri Musthofa, KH. Ali Maksum, KH. Maemon Zubair, KH. Mustofa Bisri.
Kemudian ulama-ulama Kajen sendiri sejak era Syekh Ah. Mutamakkin dengan Arsyul Muwahidin-nya di abad 17 sampai sekarang banyak ulama yang menulis seperti KH. Mahfudh Salam, KH. MA. Sahal Mahfudh, KH. Abdullah Rifa’I, KH. Muhibbi Hamzawie, KH. Fayumi Munji. Tradisi ini terus hidup sampai sekarang karena banyak Kiai-Kiai muda yang juga menulis dan men-ta’lif kitab.
Tetapi menulis tanpa membaca adalah omong kosong, karena menulis dan membaca adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi, tidak ada penulis di muka bumi ini yang tidak membaca, semua penulis adalah pembaca yang tekun dan disiplin. Semua buku mereka baca dari berbagai macam tema, meraka adalah para pemburu buku yang rajin. Namun, sejauh pembacaaan dan pengalaman saya berinteraksi dengan para penulis, rata-rata mereka memulai membaca karya-karya sastra, seperti novel, cerpen, puisi, dll. Saya sendiri merasakan karya-karya sastra, selain memberikan ilham dan inspirasi, juga menumbuhkan gairah untuk terus membaca, mencari dan mencari, berkarya dan berkarya, seakan bagai mata air yang tak habis-habisnya.
***
Seperti yang saya kemukakan di atas, bahwa kian banyak seseorang membaca buku-buku, maka dorongan untuk mengeluarkannya, baik secara lisan maupun tulisan, akan kian menggelora. Nah, sudah barang tentu, apa yang tersampaikan melalui tulisan, akan lebih abadi, ketimbang yang tersampaikan lewat lisan.
Di pesantren, tradisi membaca dan menulis ini, sesungguhnya telah di mulai semenjak dini, yakni semenjak seseorang memasuki dunia pesantren. Bayangkan saja, bisa dikatakan, setiap bakda shalat fardlu, selalu saja ada kegiatan pengajian di pesantren, yakni mengkaji kitab. Dalam pengkajian ini, berlangsunglah apa yang disebut sebagai aktivitas membaca dan menulis. Dalam pembacaannya, seorang santri sekaligus memaknai dan memahami.
Jika kebiasaan itu ditradisikan, juga dinternalisasikan saya yakin setiap pesantren akan memiliki penulis-penulis yang handal. Memang bagi santri tidak cukup hanya kebiasaan, yakni kebiasaan dalam menelaah dan menulis, mereka terutama membutuhkan pengarahan, bimbingan, motivasi, dan terutama wadah dan program yang terukur.
Membangun Budaya Membaca
Membaca yang berhasil bukanlah membaca sekedarnya. Menurut Hernowo dalam bukunya “ Mengikat Makna Update, Membaca dan Menulis yang Memberdayakan” membaca akan membawa hasil optimal manakala dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa sikap. Pertama, Sabar. Kesabaran diperlukan saat membaca karena bila tergesa-gesa dalam memaknai suatu gagasan maka kesimpulan yang dibuat bisa kurang tepat. Kedua, Telaten. Ketelatenan memungut makna-makna yang tersebar di sepanjang halaman buku kemudian mengumpulkan dan menghimpunnya sangat diperlukan karena kalau tidak telaten akan banyak gagasan yang menguap dan hilang. Ketiga, Tekun. Ketekunan diperlukan untuk membantu menyisir himpunan kata, kalimat, alenia, bab, dan bagian demi bagian yang menyimpan gagasan pokok dan penting untuk diperhatikan. Keempat, Gigih. Kegigihan akan mendorong agar tidak sekali baca sudah itu mati. Artinya bisa jadi perlu mengulang pembacaan hingga lebih dari sekali. Dan kelima, sungguh-sungguh. Kesungguhan dalam menemukan makna, memahami maksud penulis dan mengajak pikiran memelototi hal-hal menarik dan penting yang disampaikan seorang penulis akan menghadirkan manfaat yang tidak terduga.
Mari kita mendengarkan cerita Syekh Ali Thantawi, seorang pemikir besar, mantan Rektor Universitas Al-Azhar, Kaior, Mesir “ Jika dihitung dengan bilangan jam, maka waktu yang aku pergunakan untuk membaca buku, niscaya lebih dari sepuluh jam setiap harinya. Menjadi kebiasaanku sejak remaja, setiap hari aku membaca kurang lebih dua ratus halaman, baik buku ringan, maupun buku berat. Maka coba kalkulasikan, berapa halaman buku yang telah aku lahap, semenjak aku remaja hingga aku berusia tujuhpuluh tahun sekarang ini”.
Konsep Free Writing
Saya akan membagi tips sederhana yang saya ambil dari teorinya Peter Elbow dan Natalie Goldberg tentang latihan menulis bebas atau free writing. Mengapa free writing ? pertama, latihan menulis bebas ini benar-benar ditujukan untuk membuat kegiatan menulis itu nyaman (tidak menegangkan) dan menyenangkan (tidak menyiksa). Kedua, latihan ini diharapkan dapat membantu para santri untuk menulis menggunakan pikiran-pikiran asli miliknya sendiri (pikiran orisinal). Ketiga, durasi latihannya pun fleksibel dan relatif lama, yaitu bisa lima, sepuluh, atau lima belas menit sekali berlatih. Untuk mengefektifkan latihan free writing, si pelaku perlu menyetel alarm dan menjalankannya setiap hari, kapan pun waktunya (pagi, siang, sore, atau malam).
Nah, langkah praktis menjalankan free writing menurut Goldberg adalah sebagai berikut: Pertama, setel alarm 10 menit; kedua, begitu mulai gerakkan saja tangan Anda; ketiga, jangan berpikir, mengetik saja; keempat; abaikan tata bahasa, ejaan, dan tanda baca; kelima, bebaskan diri Anda dari segala peraturan atau tekanan; keenam, tidak usah menengok yang sudah di tulis; ketujuh. Teruslah mengetik hingga alarm berbunyi setelah selesai semua proses itu “ Abaikan hasilnya, rasakan prosesnya”.