Memaknai Kesadaran dalam Visi Kebudayaan

Minggu, 05 September 2021


Foto Ilustrasi (www.alinoura.com©2021 Kanjengan.id

__

Oleh: Muhammad Farid Abbad

Sejak pandemi melanda manusia di seluruh dunia banyak hal yang berubah dan harus di review untuk mengembalikan kembali martabat serta marwah manusia sebagai manajer dalam pengelolaan bumi ini. Selama ini manusia sebagai entitas biologis masih menganggap dirinya sebagai makhluk adikuasa yang bisa menguasai dan membangun banyak hal sesuai dengan kehendaknya sendiri. Namun, belakangan situasi yang terjadi menjadikan manusia mulai berpikir ulang tentang bagaimana membangun ulang tatanan dunia ini dalam situasi pandemi yang serba terbatas. Manusia belakangan mulai sadar bahwa dirinya adalah entitas biologis yang rapuh dan mudah diruntuhkan oleh entitas biologis lain yang berupa virus Covid-19.

Karena itu, membaca situasi ini menumbuhkan kesadaran yang mendalam bahwa manusia ditakdirkan oleh Tuhan sebagai makhluk yang memiliki hak istimewa untuk memilih dan menentukan jalan dhidupnya. Semua tindakan yang dipilih tentu sebuah tindakan yang mampu dikontrol dan dikendalikan oleh dirinya sendiri. Apakah ia akan mampu membangun rumus kehidupan baru yang fresh, segar, dan genuin untuk menata hidup dalam situasi ini atau justru ia akan tersungkur dan tenggelam jauh di dasar samudra ketakuan dan kekhawatiran menatap masa depan.

Rangkaian fenomena ini bagi saya menandai sebuah arus baru bahwa kehidupan ini selalu memberikan kejutan-kejutan baru bagi manusia. Sebab, manusia adalah satu-satunya mahkluk Tuhan yang mampu beradaptasi dengan segala bentuk dan wajah peubahan. Kita tahu bahwa setiap zaman memiliki bentuk krisisnya masing-masing dan setiap krisis selain menelan banyak korban juga melahirkan banyak pahlawan dan orang-orang hebat yang menawarkan alternatif dan sistem baru untuk perbaikan kehidupan umat manusia.

Pertanyaan yang penting untuk dikemukakan adalah bagaimana dan mengapa hanya manusia yang mampu menghadapi setiap perubahan zaman? siapa sesungguhnya manusia itu? Mengapa manusia menjadi poros semesta ini? Lantas bagaimana visi kebudayaan yang tepat untuk diterapkan dalam situasi Covid-19 ini?

Visi Kebudayaan

Saya ingin memulai menjawab pertanyaan ini dengan mengutip sebuah kata-kata dari seorang guru besar kearifan Sang Zahid, Muhammad Zuhri “ ketahuilah bahwa, bermiliyar tahun semesta dalam keadaan tak sadar akan dirinya. Dan ketika ia sadar akan dirinya, manusialah wujudnya” Jadi, semesta ini hanya sebagai wahana saja yang dipersiapkan Tuhan untuk manusia. Ibarat sebuah pementasan dunia ini hanya panggung saja dengan seluruh kompleksitasnya. Sementara aktor yang bermain drama di atasnya adalah manusia. Karena itu manusia menjadi pusat dari pengendalian semesta ini.

Manusia dengan seluruh kecerdasannya mulai mengkreasi banyak hal dalam hidupnya, ia mulai menciptakan sistem pengetahuan sebagai alat untuk menemukan hal-hal baru yang bisa dimanfaatkan untuk kehidupannya. Lalu, ia juga mengkreasi seni sebagai kebutuhan rohaninya karena interaksi dan komunikasi dengan alam sehingga ia mencoba merefleksikan alam itu dalam bentuk tarian, lukisan, pahatan, musik, dan ekspresi lainnya. Kemudian ia mulai membangun komunitas untuk membangun organisasi sosial dan membangun harmoni untuk saling menopang dalam hidupnya.

Selanjutnya ia terus meningkatkan kemampuannya untuk mengkreasi teknologi untuk survive. Seiring berjalannya waktu semakin bertambah kognisi manusia maka semakin maju dan tinggi teknologi yang dihasilkan, karenanya tidak heran jika peradaban hari ini disebut sebagai peradaban material yang tercerabut dari nilai-nilai keadaban dan keluhuran karena dampak yang dihasilkan adalah manusia mekanik yang lupa akan fungsi dan tugasnya diciptakan sebagai manusia.

Karenanya, seluruh perjalanan ini kemudian menjadi refleksi dan tantangan bagi kita untuk menawarkan sebuah kebudayaan baru sebagai core value, nilai dasar atau landasan hidup dalam berkebudayaan. Nilai-nilai yang dikosntruksi dalam merumuskan kebudayaan baru tentunya tidak bisa dilepaskan dari kearifan para leluhur dan orang-orang bijak. Dalam konteks ini, maka mata air yang bisa disarikan dari laku kehidupan orang-orang terdahulu menjadi referensi penting. Semua pondasi itu harus dimaknai sebagai strategi, metode, pola, kecerdasan yang harus terus menrus kita gali dan telusuri.

Sebagai orang yang berkecimpung dalam komunitas kebudayaan, saya merasa banyak sekali kitab-kitab karya ulama yang sangat visioner dan futuristik. Oleh sebab itu gerakan kebudayaan yang saya maksud disini adalah gerakan kebudayaan yang berbasis agama. Karena diakui ataupun tidak yang menjadi elan vital dan kekuatan yang mewarnai kehidupan manusia sampai hari ini adalah agama. Dengan seluruh perangkat doktrin dan kearifan yang dimilikinya kita akan bisa membangun jalan baru dari nilai-nilai yang diwariskan oleh para ulama dalam kitab-kitabnya. Sehingga pada gilirannya orang yang menghayati agama secara serius sebagai core value secara otomatis ia sudah menjalankan praktik kebudayaan yang berorientasi keadaban.

Karena itu, tulisan ini sebagai pengantar saja untuk memulai kajian yang berbasis teks dan arahnya untuk memperkuat karakter kebudayaan masyarakat yang didasari oleh agama. Saya tertarik untuk mengulas dua kitab yang pertama adalah Kimyaus Sa’adah karya Imam al-Ghazali sebagai konstruski rohani yang akan menjiwai laku kesadaran manusia. Sementara kitab kedua adalah Idhatun Nasyi’in anggitan Imam Musthafa al-Ghalayayni sebagai laku gerakan. Semoga bisa istiqomah.


0 Viewers